JAKARTA - Ziarah kubur ke pemakaman kaum Muslimin begitu dianjurkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan berziarah kubur selain dapat melembutkan hati juga ziarah mengingat kematian.
Namun Al -Ustaz Yazid bin Abdul Qadir Jawas mengingatkan ada ziarah kubur yang harus dihindari. Dia menyebutkan ziarah kubur yang harus dihindari adalah ziarah kubur yang syirik, yaitu ziarah yang bertentangan dengan tauhid.
Baca Juga: Ziarah Kubur Jelang Ramadhan, Bagaimana Hukumnya?
"Misalnya mempersembahkan suatu macam ibadah kepada ahli kubur, seperti berdo’a kepadanya sebagaimana layaknya kepada Allah, meminta bantuan dan pertolongannya, berthawaf di sekelilingnya, menyembelih kurban dan bernadzar untuknya dan lain sebagainya," kata dalam pesannya dalam grup kajian dikutip pada Kamis (25/2/2021).
Dia mengatakan, seorang Mukmin tidak boleh memalingkan ibadah kepada selain Allah, perbuatan ini adalah syirkun akbar dan mengeluarkan seseorang dari Islam bila sudah terpenuhi syaratnya dan tidak ada penghalangnya.
Baca Juga: Sengaja Batal Puasa Ramadhan, Hukumannya Sangat Mengerikan
Seluruh ibadah dan harus dilakukan hanya kepada Allah saja dengan ikhlas tidak boleh menjadikan kubur sebagai perantara menuju kepada Allah, karena ini adalah perbuatan orang kafir Jahiliyah.
Sesuatu yang menjadi wasaa-il (sarana) dihukumi berdasar-kan tujuan dan sasaran. Setiap sesuatu yang menjadi sarana menuju syirik dalam ibadah kepada Allah atau menjadi sarana me-nuju bid’ah, maka wajib dihentikan dan dilarang. Setiap perkara baru (yang tidak ada dasarnya) dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan.
"Di muka bumi tidak ada satu pun kuburan yang mengandung berkah sehingga sia-sia orang yang sengaja ziarah menuju kesana untuk mencari berkah. Dalam Islam tidak dibenarkan sengaja mengadakan safar (perjalanan) ziarah (dengan tujuan ibadah) ke kubur-kubur tertentu, seperti kuburan ulama tertentu dengan niat (tujuan) mencari keramat dan berkah serta mengadakan ibadah di sana. Hal ini tidak boleh dan tidak dibenarkan di dalam Islam, karena perbuatan ini adalah bid’ah merupakan sarana yang menjurus kepada kemusyrikan," paparnya.
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah mengatakan: “Syaithan terus menerus membisikkan kepada para penyembah kuburan, bahwa mendirikan sesuatu bangunan dan beribadah di samping kuburan para Nabi dan orang-orang shalih berarti mencintai mereka dan bahwa tempat itu merupakan tempat yang mustajab (terkabulnya do’a). Kemudian dari tingkat kepercayaan itu, syaithan mengalihkan mereka menuju berdo’a (kepada Allah) melalui perantara orang shalih yang dikubur itu dan bersumpah dengan nama Nabi atau orang shalih agar Allah mengabulkan do’anya. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Dzat Yang Mahaagung, tidak boleh seseorang pun dari hamba-Nya bersumpah dengan nama makhluk-Nya dan tidak boleh seorang pun memohon kepada makhluk-Nya, karena yang berhak mengabulkan do’a hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala semata.
Setelah kepercayaan seperti tersebut tertanam di hati mereka, setan membujuk mereka agar memanjatkan do’a dan menyembah kepada orang shalih yang telah dikubur itu, dan memohon syafa’at darinya, bukan dari Allah, serta menjadikan kuburannya sebagai berhala dengan diterangi lampu/lentera dan batu nisannya diselimuti kain, lalu dilakukan thawaf padanya, diusap, disentuh dan dicium, bahkan dilakukan ibadah haji kepadanya dan disembelih kurban di sisinya.
Setelah keyakinan ini mantap di hati mereka, setan mengalihkan, yaitu mengajak manusia agar menyembah kuburan itu dan menjadikannya sebagai tempat perayaan dan upacara ibadah. Mereka pun memandang bahwa hal itu lebih bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhiratnya. Semua perbuatan yang telah dilakukan mereka itu, bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memurnikan tauhid, dan agar tidak beribadah melainkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
Setelah kepercayaan tadi mantap di hati mereka, kata dia, setan mengalihkan mereka lagi, bahwa orang yang melarang perbuatan tersebut berarti telah merendahkan orang-orang yang memiliki derajat dan martabat yang tinggi dan menjatuhkan mereka dari kedudukan mereka tersebut serta menganggap mereka tidak mempunyai nilai kekeramatan maupun kemuliaan.
Akhirnya orang-orang musyrik itu marah dan hati mereka jijik memandang orang yang mengajak kepada tauhid, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَإِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَحْدَهُ اشْمَأَزَّتْ قُلُوبُ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ ۖ وَإِذَا ذُكِرَ الَّذِينَ مِن دُونِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ
"Dan apabila Nama Allah saja yang disebut, kesal-lah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut, tiba-tiba mereka bergirang hati.” [Az-Zumar: 45]
Ini terjadi di dalam hati mayoritas orang-orang bodoh, dan juga tidak sedikit dari kalangan orang-orang yang mengaku berilmu dan beragama yang melakukan demikian sehingga mereka memusuhi orang yang mengajak kepada tauhid (yaitu orang yang mengajak untuk beribadah hanya kepada Allah saja dan tidak kepada yang selain-Nya) dan menuduh mereka dengan tuduhan-tuduhan keji.
Akibatnya, banyak orang yang menghindar dan menjauh dari orang yang mengajak kepada tauhid dan mereka berwala’ (loyal/ setia) kepada orang yang mengajak kepada kemusyrikan dengan mengklaim bahwa orang yang mengajak kepada kemusyrikan adalah para wali Allah dan para penolong agama dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala membantah hal itu dalam firman-Nya:
وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ ۚ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Mereka bukanlah para wali-Nya. Sesungguhnya para wali Allah hanyalah orang-orang yang bertaqwa, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [Al-Anfaal: 34]
Demikianlah yang dituturkan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah.
(Vitrianda Hilba Siregar)