JAKARTA - Perspektif Islam tentang film Norma menarik untuk diketahui kaum muslim. Film ini mengangkat kisah Norma, yang dikhianati suaminya. Sang suami selingkuh dengan ibu mertuanya.
Film Norma diangkat dari kisah nyata Norma Risma. Norma mendapati suaminya selingkuh dengan ibunya yang merupakan mertua sang suami.
Dalam film ini, Norma diperankan Tissa Biani,sang suami Irfan diperangkan Yusuf Mahardika, dan Rina yang merupakan ibu Norma diperankan Wulan Guritno yang sedang bersama. Film ini telah diputar di bioskop sejak 31 Maret 2025.
Tema perselingkuhan mertua dan menantu dalam film Norma bukan hal baru dalam dinamika rumah tangga. Rasulullah SAW bahkan pernah mengingatkan bahaya khalwat dengan ipar, saudara pasangan, hingga mertua dalam sebuah hadits, yaitu:
عن عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ" فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ؟ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Artinya: “Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Jauhilah masuk ke (ruangan) wanita!’ Maka seorang laki-laki dari kaum Anshar bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana dengan ipar?’ Beliau menjawab, ‘Ipar adalah kematian.’” (HR Bukhari-Muslim)
Melansir laman NU Online, Senin (14/4/2025), hadits ini memberikan penjelasan tentang betapa seriusnya larangan selingkuh dengan kerabat. Ad-Dihlawi menjelaskan, istilah “hamwu” dalam hadits tersebut merujuk pada kerabat dari pihak suami, seperti saudara laki-laki suami atau ayah mertua, kecuali ayah dan anak laki-laki yang memang mahram (Lama’atut Tanqih, [Damaskus, Darun Nawadir, 2014], jilid VI, hlm. 22).
Muhammad bin ‘Abdil Hadi As-Sindi juga mengungkapkan, maksud hadits ini dalam catatan kaki yang dituliskannya sebagai komentar kitab Shahihul Bukhari:
ومعناه أن الخوف منه أكثر لتمكنه من الخلوة بها من غير أن ينكر عليه ، وهو تحذير مما عليه عادة الناس من المساهلة فيه كالخلوة بامرأة أخيه
Artinya: “Maknanya adalah bahwa bahaya kerabat sendiri/ipar (hamwu) lebih besar karena ia lebih memungkinkan untuk berduaan dengan istri saudaranya tanpa ada yang mengingkari. Hadits ini merupakan peringatan terhadap kebiasaan masyarakat yang sering meremehkan hal ini, seperti berduaan dengan istri saudara laki-lakinya.” (As-Sindi, Hasyiyatus Sindi ‘ala Shahihil Bukhari, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], jilid III, hlm. 100).
Masih berkaitan dengan hadits ini, Al-Munawi bahkan menyebut pandangan Imam Malik yang sangat ketat dalam hal ini, hingga melarang khalwat (berduaan) antara seorang wanita dengan anak tiri suaminya, meskipun secara syariat diperbolehkan, karena potensi fitnah tetap ada ( Lihat Faidhul Qadir Syarhul Jami’ ash-Shaghir, [Mesir, al-Maktabah at-Tijjariyyah al-Kubra, 1356], jilid III, halaman 124).
Apabila melihat secara spesifik dalam Alquran surat An-Nisa ayat 23, kita mendapati larangan menikah dengan mertua.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ
Artinya: “Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua),..”
Ayat ini menegaskan, mertua atau ibu dari seorang istri haram untuk dinikahi. Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengutip penjelasan yang dapat disimpulkan bahwa ibu mertua itu haram untuk dinikahi, baik si suami sudah berhubungan badan layaknya suami-istri atau belum. Ia juga mengutip sebuah riwayat:
وقد جاء صريحا من حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده عن النبي صلى الله عليه وسلم: (إذا نكح الرجل المرأة فلا يحل له أن يتزوج أمها دخل بالبنت أو لم يدخل وإذا تزوج الام فلم يدخل بها ثم طلقها فإن شاء تزوج البنت) أخرجه في الصحيحين
Artinya: “Telah datang dengan tegas dari hadits Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi SAW: ‘Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita, maka tidak halal baginya untuk menikahi ibu wanita tersebut, baik dia telah menggauli anaknya atau belum. Dan jika dia menikahi ibunya namun belum menggaulinya, lalu menceraikannya, maka jika dia mau, dia boleh menikahi anaknya.’” [HR Bukhari-Muslim], (Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Dar ‘Alamil Kutub, 2003], jilid V, hlm. 107).
Menukil sebuah kisah dari Al-Muwatha, Abdullah bin Mas’ud, seorang sahabat Nabi yang terkenal dengan keilmuannya, didatangi seseorang yang meminta fatwa: bolehkah seseorang menikahi ibu dari wanita yang pernah dinikahinya, jika pernikahan dengan anak perempuan itu belum disempurnakan dengan hubungan suami-istri?
Dengan penuh keyakinan, Ibnu Mas’ud memberikan jawaban bahwa hal itu diperbolehkan. Namun, beberapa waktu kemudian, Ibnu Mas’ud berkesempatan mengunjungi Madinah. Di sana, ia tidak menyia-nyiakan waktu untuk memverifikasi pendapatnya.
Dengan rendah hati, ia bertanya kepada para ulama setempat tentang hukum yang pernah ia fatwakan. Jawabannya ternyata pernikahan seseorang dengan ibu mertua merupakan hal yang diharamkan. Seketika ia pun mencabut fatwanya, dan memerintahkan orang yang meminta fatwa kepadanya untuk menceraikan istrinya (Lihat Al-Muwatha karya Imam Malik, [Mesir, Dar Ihya at-Turats al-‘Arabi, t.t.], jilid II, hlm. 533).
Dalam konteks film Norma, ayat dan hadits-hadits yang telah dijelaskan menjadi penegas larangan hubungan pernikahan antara mertua dan menantu. Nikah saja dilarang, apalagi selingkuh hingga terjadi perzinaan, tentu saja konsekuensinya lebih berat. Wallahualam.
(Erha Aprili Ramadhoni)