Mendengar itu, gubernur langsung tertawa. "Itulah jiwa kesatria yang aku kagumi darimu. Aku mengampunimu, Abu Nawas," kata gubernur.
"Bolehkah aku meminta satu permintaan?" tanya Abu Nawas.
"Apa permintaanmu? Katakan saja," jawab gubernur.
"Aku juga minta pengampunan untuk kawan-kawanku," pinta Abu Nawas.
Sejenak gubernur terdiam lalu berkata kepada Abu Nawas, "Aku akan mengabulkan permintaanmu, tapi ada syaratnya, kau harus bisa menjawab tiga pertanyaanku."
"Baik gubernur, aku siap menjawabnya," sahut Abu Nawas.
"Menurutmu, aku gubernur yang adil atau zalim?" tanya dia.
"Tuan bukan gubernur yang adil, bukan pula gubernur yang zalim. Orang-orang yang zalim itu adalah kita, sedangkan tuan adalah pedang keadilan yang membalas kezaliman," jawab Abu Nawas.
"Luar biasa. Jawabanmu sungguh menakjubkan Abu Nawas," ujar gubernur.
"Sekarang pertanyaan kedua: Mana yang lebih bermanfaat, matahari atau bulan?" tanya gubernur.
"Matahari terbit di siang hari bersamaan dengan terangnya dunia, maka menurutku matahari kurang bermanfaat. Sementara bulan terbit di waktu malam yang menerangi dunia dan menjadikannya seperti siang, maka menurutku manfaat bulan lebih besar," jawab Abu Nawas.
Gubernur pun tertawa dengan jawaban Abu Nawas, memang nyeleneh tapi masuk akal. "Baiklah Abu Nawas, sekarang pertanyaan terakhir. Menurutmu warna angin itu apa?" tanyanya.
"Warna angin itu merah," jawab Abu Nawas enteng.
"Apa alasanmu?" tanya gubernur lagi.
"Kalau kita masuk angin lalu badan dikerok pasti akan muncul warna merah di badan. Itu menunjukkan kalau anginnya sedang keluar. Berarti warna angin adalah merah," jawab Abu Nawas menerangkan.
Untuk kedua kalinya gubernur dibuat tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu memang cerdik Abu Nawas. Kau mendapatkan apa yang diinginkan. Ternyata apa yang dikatakan Baginda Raja tentangmu memang benar," tutur gubernur.
Abu Nawas spontan kaget mendengar nama Baginda Raja disebut. "Maksud tuan bagaimana?" tanya Abu Nawas penasaran.
"Sebelum aku ditugaskan kemari, Baginda Raja memberi tahu kalau di kota ini banyak sastrawan pintar dan di antara sastrawan yang paling cerdik adalah kau."
"Aku berniat memanggil mereka untuk diberi hadiah, tapi sebelumnya ingin mengerjai dulu. Ternyata kau malah datang untuk membantu mereka, dan ini adalah suatu kesempatan bagiku untuk menguji kecerdasanmu," cerita gubernur.
"Jadi hukuman mati yang tuan berikan hanya pura-pura?" tanya Abu Nawas kaget.
"Benar, Abu Nawas. Aku hanya ingin mengerjai mereka sebelum memberikan hadiah," jawab gubernur.
Abu Nawas pun terdiam sejenak. "Kurang ajar, ternyata aku masuk perangkapnya. Tunggu saja pembalasanku nanti," ungkapnya dalam hati.
Allahu a'lam.
(Hantoro)