BERIKUT ini dijelaskan hukum naik haji tanpa visa haji resmi. Diketahui bahwa otoritas keamanan Arab Saudi menangkap sebanyak 24 jamaah haji furoda asal Banten saat miqat di Masjid Bir Ali, Madinah, karena tidak memiliki visa haji resmi untuk masuk ke Tanah Suci.
Kemudian petugas kembali menangkap 37 warga negara Indonesia (WNI) yang menggunakan visa ziarah untuk naik haji. Mereka ditangkap di Kota Madinah saat ingin berhaji dengan menggunakan gelang dan ID card haji palsu.
"(Sebanyak) 37 orang ditangkap di Madinah oleh aparat keamanan di Madinah; 16 perempuan, laki-laki 21 orang. Dari Makassar," ungkap Konjen RI Jeddah Yusron B Ambary di Daker Makkah, Arab Saudi, Sabtu 1 Juni 2024.
Hukumnya Berhaji Tanpa Visa Resmi
Pengurus Besar Harian Syuriyah Nahdlatul Ulama (NU) mengungkapkan bahwa haji dengan non atau tidak prosedural itu sah, tetapi cacat, dan pelakunya berdosa. Keputusan ini merupakan salah satu hasil musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang digelar pada 28 Mei 2024 di Jakarta.
"Musyawarah Pengurus Besar Harian Syuriyah memutuskan bahwa haji dengan visa non-haji (tidak prosedural) adalah sah akan tetapi cacat dan yang bersangkutan berdosa," dikutip dari Lampiran Keputusan Pengurus Besar Harian Syuriyah NU yang diterima MNC Portal.
PBNU mengatakan hajinya masih dianggap sah karena visa haji bukan bagian dari syarat-syarat haji dan rukun-rukun haji serta larangan agama yang berwujud dalam larangan Pemerintah Arab Saudi bersifat eksternal.
Sedangkan hajinya dianggap cacat dan yang bersangkutan karena mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, karena melanggar aturan syariat yang mewajibkan menaati perintah ulil amri dan mematuhi perjanjian (يا أيها الذين آمنوا أوفوا بالعقود) baik itu Pemerintah Arab Saudi maupun Pemerintah Indonesia, termasuk di dalamnya yang melarang haji tanpa visa haji karena larangan tersebut benar dan sah menurut syariat dan akal sehat.
"Oleh karena itu wajib ditaati oleh semua pihak. Selain itu, pemerintah memiliki kewenangan untuk tadlyiqul ibahah (membatasi hal-hal yang diperbolehkan), termasuk pembatasan kuota haji dengan menetapkan regulasi. Pembatasan oleh pemerintah tersebut sesuai dengan substansi syariat Islam, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan rakyatnya," jelasnya.
Kedua, praktik haji dengan visa nonhaji bertentangan dengan syariat. Orang yang haji dengan menggunakan visa nonhaji (tidak sesuai prosedur/ilegal) bertentangan dengan substansi syariat Islam karena praktik haji tidak prosedural ini berpotensi membahayakan dirinya sendiri dan juga jamaah haji lainnya.
"Dalam hal ini, praktik haji ilegal selain telah mencaplok (ghashab) tempat yang menjadi hak tempat yang disediakan untuk jamaah haji resmi, mereka juga memperparah kepadatan jamaah di Armuzna maupun di Makkah, yang berpotensi mempersempit ruang gerak jamaah haji resmi sehingga dapat menimbulkan madharat bagi diri sendiri dan juga jamaah lain," terangnya.
Berdasarkan hal tersebut, Pengurus Besar Harian Syuriyah merekomendasikan agar pemerintah dapat menumbuhkan kesadaran supaya masyarakat tidak melakukan haji non-prosedural.
Hal ini perlu sosialisasi regulasi tentang larangan haji non-prosedural secara optimal dan sosialisasi tersebut dapat dipandang sebagai bentuk amar ma'ruf yang dianjurkan oleh Islam.
Sebagai informasi, musyawarah itu dipimpin oleh Rais 'Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori. Kemudian diikuti jajaran pengurus seperti KH Afifuddin Muhajir, KH Musthofa Aqiel Siraj, KH Masdar F Masudi, KH Sadid Jauhari, KH Abd Wahid Zamas, KH Kafabihi Mahrus.
Kemudian ada KH M Cholil Nafis, KH Muhibbul Aman Aly, KH Nurul Yaqin, KH Faiz Syukron Makmun, KH Sarmidi Husna, KH Aunullah A'la Habib, KH Muhyiddin Thohir, KH Moqsith Ghozalie, KH Reza A Zahid, KH Tajul Mafakhir, Habib Luthfi Al-Athas, dan KH Abd Lathif Malik.
Turut hadir dalam musyawarah perwakilan dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Staf Khusus Menteri Agama RI Ishfah Abidal Aziz, dan Direktur Bina Haji Arsad Hidayat.
Fatwa Ulama Arab Saudi
Dihimpun dari laman Rumaysho, Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc menerangkan ada fatwa ulama Arab Saudi tentang hukum berangkat haji secara ilegal.
Fatwa pertama adalah dari Syekh Dr 'Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah. Beliau merupakan salah satu pengajar di Fakultas Ushulud-din Jami'ah Al Imam Muhammad bin Su'ud Al Islamiyah di Riyadh. Beliau juga menjadi anggota Hai'ah Kibaril 'Ulama dan Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al 'Ilmiyyah wal Ifta'.
Syekh Dr 'Abdul Karim Al Khudair hafizhohullah pernah ditanya:
ما حكم من يَحُجُّونَ بدُونِ تصريح، وبعضُهُم يلبسُ المخيط بعد المِيقات حتَّى لا يُمنع؟
"Apa hukum seseorang berangkat haji tanpa tasreh? Mereka yang berangkat haji tanpa tasreh ini sengaja menggunakan pakaian ihram setelah miqat sehingga mereka pun tidak dicegat (oleh aparat)."
أوَّلاً التَّصريح هذا التَّحديد بِخمس سنوات مَبْنِيّ على فتوى من أهلِ العِلم، ومُخالَفَتُهُ لا شكَّ أنَّها مُخالفة لولِيِّ الأمر الذِّي لُوحِظَ فيهِ المَصْلَحَة، ولُوحِظَ فيهِ أيضاً البِناء على قولِ أهلِ العلم، فلا ينبغي مُخالفة هذا الأمر؛ لكنْ إنْ رَأى الشَّخص أنْ يَحُجّ امتِثالاً لِما وَرَدَ من الأحاديث الكثيرة في التَّرغيبِ في الحج، ولمْ يَتَرَتَّب على ذلك لا كَذِب، ولا رِشْوَة ولا احتِيَال ولا ارْتِكابِ محظُور، فَيُرْجَى؛ أمَّا إذا أدَّى ذلك إلى الكذب أو رِشْوَة، أو تَحَايُل، أو ارْتِكاب مَحْظُور كما يُفْعَل الآن، بَعْضُهُم يَرْتَكِب مَحْظُور ويدخُل ويَتَجَاوز المِيقات بِثَِيَابِهِ، هذا كُلُّهُ لا يَجُوز، ولا يُسَوِّغ لهُ ذلك.
"Pertama, tasreh ini adalah aturan yang ditetapkan setiap lima tahun sekali (artinya setiap lima tahun sekali izin tasreh ini keluar baru ia dibolehkan untuk berhaji, pen). Ini telah menjadi fatwa para ulama (saat ini). Dan tidak diragukan lagi, orang yang berangkat haji tanpa tasreh sangat jelas telah menyelisihi aturan penguasa yang ada. Apalagi penetapan adanya syarat tasreh ini ada maslahat yang besar. Bahkan dalam hal ini dibangun di atas fatwa para ulama. Sehingga, tidak pantas seorang pun menyelisihi syarat tasreh ini."
"Akan tetapi jika seseorang ingin menjalankan haji dalam rangka menjalankan perintah Allah karena melihat hadits-hadits yang banyak yang memotivasi hal ini, lalu ia tidak berbuat dusta (dengan menyelisihi aturan, pen), tidak menyogok, tidak mengelabui dan tidak melakukan yang terlarang, maka hendaklah ia melaksanakan haji. Namun jika ia malah melakukan haji dengan melakukan dusta, mengelabui (petugas yang ada), atau melakukan pelanggaran seperti yang dilakukan sekarang, yaitu sebagian orang bersengaja melakukan larangan dengan memasuki miqot untuk berhaji tanpa mengenakan pakaian ihram, ini tentunya tidak boleh. Sama sekali hal ini tidak dibolehkan."
Demikian fatwa Syekh Al Khudair. (Lihat di https://www.khudheir.com/text/875)
"Setelah melakukan searching lagi, kami pun mendapat beberapa kalam ulama kibar lainnya tentang tidak bolehnya berhaji tanpa tasreh," papar Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal.
Al Mufti Al 'Amm, Syekh 'Abdul 'Aziz Alu Syekh hafizhohullah berkata, "Sesungguhnya penguasa tidaklah menetapkan syarat berangkat haji harus dengan tasreh dengan sia-sia belaka. Keputusan seperti ini bisa ada karena sebagian orang mengadukan kepada penguasa bahwa terlalu sesaknya orang-orang saat haji. Oleh karena itu, mereka keluarkan syarat tasreh yaitu untuk memberikan kemudahan bagi orang-orang yang berhaji (agar tempat haji tidak penuh sesak)."
Syekh 'Abdullah bin Sulaiman Al Manii' hafizhohullah, anggota Hay'ah Kibaril 'Ulama berkata, "Barang siapa berhaji tanpa tasreh, maka ia berhaji dengan maksiat dan dosa. Mengenai kadar dosanya adalah perhitungan di sisi Allah. Namun, orang yang berhaji dengan tasreh seperti ini, hajinya sah, akan tetapi ia bedosa. Jika Allah kehendaki, Allah akan menghukumnya. Jika tidak, Allah akan maafkan dia. Hal ini sama halnya dengan orang yang berhaji tanpa mahram."
Syekh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, anggota Hay'ah Kibaril 'Ulama, menyatakan tentang berhaji tanpa tasreh, "Tidak boleh seseorang berhaji dengan menyelisi aturan (yaitu berangkat haji tanpa adanya tashrih, pen)."
Syekh Sulaiman Al Majid mengatakan, "Asalnya seseorang wajib memenuhi syarat tasreh. Karena ini adalah bagian dari aturan yang wajib ditaati. Inilah aturan yang harus diperhatikan oleh orang yang berhaji. Aturan ini masuk dalam aturan siyasah yang dibenarkan."
Syekh Yusuf bin 'Abdillah Asy-Syubaili, guru besar fikih di Ma'had Al 'Ali Lil Qodho' berkata, "Barang siapa yang tidak mampu mendapatkan syarat tasreh untuk berhaji, maka afdholnya ia tidak berhaji dalam rangka menaati penguasa dan memberikan kelonggaran (kemudahan) untuk berhaji bagi kaum Muslimin lainnya. Cobalah ia gunakan hartanya yang ada untuk bersedekah, menolong orang-orang yang tidak berhaji supaya dapat berhaji. Jika ia melakukan demikian, ia akan mendapatkan pahala semisal itu pula (semisal pahala haji). Karena dalam hadits, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa menolong orang yang berperang (berjihad), maka ia pun terhitung berjihad."
(Lihat di https://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=549)
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)