Kisah Perang Mu'tah: Kala 3 Ribu Pasukan Muslim Lawan 200 Ribu Prajurit Romawi

Erha Aprili Ramadhoni, Jurnalis
Senin 14 Juli 2025 13:39 WIB
Kisah Perang Mu'tah: Kala 3 Ribu Pasukan Muslim Lawan 200 Ribu Prajurit Romawi (Ilustrasi/Ist)
Share :

JAKARTA - Tiga ribu pasukan muslim melawan 200 ribu tentara Romawi dan sekutunya dalam perang Mu'tah. Perang tersebut terjadi pada Jumadil Awal tahun 8 Hijriah. 

Perang Mu'tah dinamakan demikian karena terjadi di daerah Mu’tah, desa yang berada di kawasan Balqa’, wilayah Syam (kini termasuk Yordania). Daerah tersebut dekat kota Karak, sebelah timur Sungai Yordan. Sekarang tempat itu menjadi bagian dari Kota Mu’tah, Provinsi Al-Karak, Yordania.

1. Penyebab Perang Mu'tah

Awalnya, perang terjadi saat Rasulullah SAW mengutus Al-Harits bin Umair Al-Azdi untuk membawa surat dakwah kepada penguasa Bashrah. Saat dalam perjalanan, Al-Harits bin Umair Al-Azdi dihadang Syurahbil bin Amr Al-Ghassani. Al-Harits bin Umair Al-Azdi ditangkap, diikat, dan dibunuh. 

Rasulullah sangat marah mendengar hal itu karena tindakan membunuh utusan merupakan pelanggaran berat. Rasulullah kemudian mengirim pasukan untuk memberi balasan. Zaid bin Al-Haritsah ditunjuk sebagai panglima. 

“Jika Zaid terbunuh, maka Ja’far yang menggantikannya. Jika Ja’far juga terbunuh, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin,” demikian Rasulullah bersabda, melansir Rumaysho, Senin (14/7/2025). 

Kaum muslimin mengiringi pasukan dengan penuh semangat dan doa. Rasulullah SAW berpesan kepada mereka untuk singgah di tempat terbunuhnya Al-Harits bin Umair. Rasulullah juga menyerukan penduduk di sana kepada Islam. Jika mereka menerima dakwah, berdamailah. Namun jika mereka menolak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangi mereka.

Rasulullah mengiringi keberangkatan pasukan dengan mengantarnya hingga perbatasan Tsaniyatul Wada’. Di sana Rasulullah SAW berhenti untuk melepas keberangkatan mereka dengan penuh doa dan harapan.

 

2. Perang Mu'tah

Sementara itu, Raja Romawi mendapatkan kabar tentang pergerakan pasukan Islam. Ia segera mempersiapkan pasukan besar untuk menghadang mereka. Sebanyak 100.000 tentara dikerahkan di bawah pimpinan Heraklius, dengan tambahan bala bantuan dari berbagai suku seperti Lakhm, Judzam, Balqin, Bahra, Wabil, hingga total pasukan mencapai 200.000 orang.

Mendengar jumlah musuh yang begitu besar, pasukan Islam yang hanya berjumlah 3.000 orang berkumpul di Ma’an dan bermusyawarah selama dua hari. Sebagian di antara mereka mengusulkan, 
“Mari kita kirim surat kepada Rasulullah SAW untuk memberitahukan jumlah pasukan musuh. Mungkin beliau akan mengirimkan bala bantuan tambahan, atau memerintahkan kita untuk tetap melanjutkan misi ini.”

Di tengah perbincangan, Abdullah bin Rawahah menyemangati pasukan. 

“Wahai para prajurit! Bukankah yang kalian takutkan justru adalah sesuatu yang kalian rindukan ketika berangkat ke medan perang? Yaitu syahadah (mati syahid). Kita tidak pernah menang karena jumlah atau kekuatan kita yang besar, tetapi karena agama ini—semangat iman yang Allah jadikan sebagai kemuliaan kita. Maka majulah! Kita hanya punya dua pilihan yang sama-sama baik: menang atau mati syahid!”

Kata-kata itu menggugah hati para prajurit. Mereka menyahut dengan penuh semangat, “Demi Allah! Sungguh benar apa yang engkau ucapkan, wahai Abdullah bin Rawahah!” 

Akhirnya, pasukan sepakat untuk meneruskan perjalanan. Mereka maju menghadapi musuh hingga tiba di Masyarif. 

Pasukan Heraklius bergerak mendekat. Sementara kaum muslimin masuk ke perkampungan Mu’tah, membangun markas militer, dan bersiap-siap melancarkan serangan.

Di medan Mu’tah, kedua pasukan akhirnya bertemu. Pasukan muslim yang hanya berjumlah 3.000 orang harus menghadapi gempuran dahsyat dari 200.000 tentara Romawi. Pertempuran yang berat pun terjadi. Panglima kaum muslimin, Zaid bin Al-Haritsah, gugur sebagai syuhada setelah memimpin pasukan dengan gagah berani.

 

Setelah Zaid syahid, panji pasukan dipegang Ja’far bin Abi Thalib. Dengan kudanya, ia menerobos barisan musuh, namun sebuah pedang menebas tangan kanannya. Ia pun memindahkan panji ke tangan kirinya, hingga tangan kirinya juga tertebas. 

Tidak menyerah, Ja’far memeluk panji dengan dadanya, bertahan sampai akhirnya ia gugur sebagai syuhada. Allah mengganti kedua tangannya dengan dua sayap di surga, sehingga ia dikenal sebagai “orang yang memiliki dua sayap”.

Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu menuturkan, “Rasulullah SAW telah menunjuk Zaid bin Al-Haritsah sebagai panglima perang. Beliau bersabda, *‘Jika Zaid gugur, maka pengganti berikutnya adalah Ja’far. Jika Ja’far juga gugur, maka Abdullah bin Rawahah yang akan memimpin.’” 

Ibnu Umar melanjutkan, “Saat itu kami bersama pasukan, dan ketika mencari Ja’far, kami mendapati tubuhnya sudah dipenuhi lebih dari 90 luka akibat panah, tombak, dan pedang.” Karena itu, setiap kali Ibnu Umar bertemu putra Ja’far, ia berkata, *“Salam untukmu, wahai putra pemilik dua sayap.”

Setelah Ja’far gugur, panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah. Ia terus berjuang sampai akhirnya ia syahid. Kemudian Tsabit bin Arqam maju menyelamatkan panji dan berkata kepada pasukan, “Wahai kaum muslimin! Sepakatlah untuk menunjuk seorang panglima baru.” Mereka menjawab, “Kamu saja yang memimpin!” Namun Tsabit menolak dengan rendah hati, “Aku tidak mau.” Akhirnya, para prajurit memilih Khalid bin Walid sebagai pemimpin.

Ketika panji pasukan dipegang Khalid bin Walid, ia memimpin pertempuran dengan penuh keberanian dan kegigihan. Qais bin Abi Hazim meriwayatkan, Khalid pernah berkata, “Pada Perang Mu’tah, aku telah mematahkan sembilan pedang. Hingga akhirnya tidak ada lagi pedang tersisa di tanganku, kecuali sebuah pedang lebar buatan Yaman.”

 

3. Strategi Khalid

Pada malam hari, Khalid mulai menyusun strategi untuk mengecoh musuh. Pagi harinya, ia mengatur ulang barisan pasukan. Posisi pasukan depan dipindah ke belakang, pasukan belakang maju ke depan, yang berada di sayap kiri digeser ke kanan, dan yang di sayap kanan dipindah ke kiri. Pergeseran posisi ini membuat musuh tidak lagi mengenali pasukan kaum muslimin. Mereka menyangka pasukan bantuan telah datang dari Madinah. Dengan perasaan gentar, pasukan musuh pun menjadi takut dan memilih mundur.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan, Nabi Muhammad berduka atas gugurnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah. Di hadapan para sahabat, bahkan sebelum berita kematian mereka sampai, beliau bersabda dengan mata yang berlinang, “Panji telah diambil oleh Zaid, dan ia gugur sebagai syahid. Kemudian panji dipegang oleh Ja’far, dan ia pun gugur sebagai syahid. Setelah itu diambil oleh Ibnu Rawahah, dan ia juga gugur sebagai syahid. Hingga akhirnya panji itu diambil oleh salah satu pedang Allah, lalu Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.”

Meski pertempuran berlangsung sengit dan pasukan musuh sangat besar, jumlah syuhada di pihak kaum muslimin kurang dari sepuluh orang. Sementara jumlah korban dari pihak musuh tidak diketahui secara pasti, namun melihat kondisi pertempuran, jumlahnya pasti sangat banyak. Salah satu tandanya adalah sembilan pedang yang patah di tangan Khalid bin Walid, sebagaimana yang beliau sebutkan. Dengan izin Allah SWT, kaum muslimin akhirnya kembali dari medan Mu’tah membawa kemenangan. Wallahualam

(Erha Aprili Ramadhoni)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya