BANGKALAN - KH Kholil Bangkalan (Mbah Kholil), Jawa Timur, lahir pada Selasa 11 Jumadil Akhir 1235 Hijriah atau 27 Januari 1820 Masehi. KH Abdul Lathif, warga Desa Kemayoran, Kecamatan Kota, merasakan kegembiraan karena dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang kelak menjadi salah satu penyebar Islam di tanah Madura.
KH Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana para pendahulunya. Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kiai Hamim, putra dari Kiai Abdul Karim.
Kiai Abdul Karim sendiri merupakan putra Kiai Muharram bin Asror Karomah bin Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman merupakan cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH Abdul Lathif mendambakan putranya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati.
Mbah Kholil dididik sangat ketat oleh ayahnya. Kholil kecil sudah menunjukkan bakat istimewa. Ia sangat menyukai ilmu fiqh dan nahwu. Bahkan, ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (1.000 bait ilmu nahwu) sejak muda. Untuk memenuhi harapan dan rasa hausannya mengenai ilmu fiqh dan ilmu lainnya, orangtua Kholil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Mengawali pengembaraannya, Kholil muda belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, tujuh kilometer dari Keboncandi.
Kiai Nur Hasan sesungguhnya masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Untuk mendapatkan ilmu, Kholil muda rela melakoni perjalanan yang lumayan jauh setiap hari. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surat Yasin.
Sebenarnya, bisa saja Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri di Kiai Nur Hasan, namun ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi. Ia tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Sewaktu menjadi santri, Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Di samping itu beliau juga seorang Hafidz (hafal 30 juz) Alquran. Beliau mampu membaca Alquran dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Alquran).
Kemandirian Kholil muda juga tampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Makkah, Arab Saudi. Pada masa itu, belajar ke Makkah merupakan cita-cita semua santri. Untuk mewujudkan impiannya, lagi-lagi Kholil tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos.
Ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Pengasuh pesantren di sana terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Selama nyantri di Banyuwangi ini, Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa. Untuk setiap pohon, dia mendapat upah 2,5 sen.
Uang yang diperolehnya itu dia tabung. Sedangkan untuk makan, Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci, dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah dia bisa makan gratis.
Saat usianya 24 tahun, Kholil memutuskan pergi ke Mekkah. Namun sebelum berangkat, ia menikah dahulu dengan Nyai Asyik, putri Lodra Putih.
Memang benar, ongkos pelayarannya bisa ditutupi dengan uang hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi. Sedangkan untuk makan, Kholil banyak berpuasa. Selain berhemat, puasa tersebut dilakukannya untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah agar perjalanannya selamat.
Di Makkah Kholil belajar dengan Seikh Nawawi Al Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Makkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al Afifi Al Makki, Seikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Seikh Nawawi Al Bantani, dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al Bimawi (Bima, Sumbawa).
Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut warga Indonesia), Kholil belajar pada para Seikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Seikh yang bermadzhab Syafi’i.
Konon, selama di Makkah, Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain. Realitas ini cukup mengherankan bagi teman-temannya. Kebiasaan memakan kulit semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari di Makkah, Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar.
Sepulangnya dari Tanah Arab, Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli fiqh dan tarekat. Bahkan, ia pun dikenal sebagai seorang kiai yang dapat memadukan kedua hal itu secara serasi.
Singkat cerita, dengan pengalaman dan ilmu yang dimilikinya, Kholil mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, Bangkalan.
Banyak santri yang berdatangan setelah pesantren dibuka. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah, dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kiai Muntaha, pesantren di Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Demangan, pusat kota. Letak Pesantren yang baru itu hanya satu kilometer dari pesantren lama.
Di tempat yang baru ini, Kholil cepat memperoleh santri lagi. Bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari asal Jombang.
Selain dikenal sebagai ahli fiqh dan ilmu alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai “waskita,” atau weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.
Mbah Kholil wafat pada Kamis 29 Ramadan 1343 H (1925 M). Jenazah beliau disalati di Masjid Agung Bangkalan. Kemudian dimakamkan di Pemakaman Martajasah, Bangkalan.
(Muhammad Saifullah )