Di era milenial ini banyak jamaah haji Indonesia dari beberapa embarkasi yang telah berangkat ke Tanah Suci. Sebuah realita yang yang tak terbantahkan, di antara mereka banyak ditemukan perempuan single atau perempuan yang telah menikah berangkat haji seorang diri.
Mereka mempunyai berbagai alasan mengapa naik haji sendirian. Mereka pergi ke Tanah Suci tanpa mahram maupun suaminya.
Lalu, bolehkah seorang istri atau perempuan single menunaikan ibadah haji seorang diri, tidak ada suami atau mahram yang menyertai?
Dalam sudut pandang fikih klasik, ibadah haji disyaratkan bagi seseorang yang telah mampu. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam al-Qur’an:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلً
“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (QS. Ali Imran [3]: 97)
Dalam kitab Tafsir Al-Jalalain, karya dua ulama besar Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, dijelaskan bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam menafsiri kata ‘sanggup’ dalam ayat tersebut dengan arti kemampuan dalam hal kendaraan dan finansial. (Lihat Tafsir Al-Jalalain, vol. I hlm. 80)
Seperti dikutip dari website Pesantren Lirboyo, para ulama pakar fikih merumuskan bahwa kemampuan dari segi finansial saja tak cukup apabila dilakukan oleh seorang perempuan.
Perempuan sebagai makhluk yang sangat mulia, aspek keamanan dari adanya fitnah menjadi poin penting yang harus diperhatikan. Dari sini, muncul berbagai asumsi yang beredar di akar rumput masyarakat bahwa perempuan tidak diperbolehkan menunaikan haji seorang diri.
Sesungguhnya asumsi yang beredar tersebut sudah saatnya diluruskan. Sebab jika ditelaah lebih mendalam di beberapa literatur klasik, syariat tidak serta merta melarang perempuan menunaikan haji seorang diri.
Namun, ia boleh menunaikan ibadah haji dengan syarat ditemani oleh lelaki mahramnya (bagi wanita yang belum menikah), atau ditemani suami (bagi yang telah menikah), atau beserta rombongan wanita lain yang dapat dipercaya dan terjamin keamanannya.
Melihat realita di Indonesia, jamaah wanita selalu bersama dengan wanita lain dalam kelompok rombongannya, baik selama di perjalanan, pemondokan, bahkan di tempat penginapan. Melihat situasi ini maka kekhawatiran adanya fitnah bisa ditepis dengan keamanan bersama mereka. Meskipun pada awalnya ia tidak disertai mahram atau suami yang mendampinginya, bukanlah suatu masalah.
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dalam kitabnya yang berjudul Kanz Ar-Raghibin atau yang memiliki nama lain Syarah Al-Mahalli:
وَيُشْتَرَطُ فِي الْمَرْأَةِ لِوُجُوْبِ الْحَجِّ عَلَيْهَا أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا زَوْجٌ اَوْ مَحْرَمٌ بِنَسَبٍ اَوْ غَيْرِ نَسَبٍ اَوْ نِسْوَةٌ ثِقَاتٌ لِتَأْمَنَ عَلَى نَفْسِهَا وَالْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ وُجُوْدُ مَحْرَمٍ لِإِحْدَاهُنَّ لِأَنَّ الْأَطْمَاعَ تَنْقَطِعُ بِجَمَاعَتِهِنَّ
“Syarat kewajiban haji bagi wanita adalah ia menunaikan bersama suami atau mahramnya, baik mahram nasab atau selain nasab, atau bersama golongan wanita yang bisa dipercaya atas keamanan dirinya. Menurut pendapat paling shahih, bagi sorang wanita yang tidak disyaratkan ditemani mahram apabila bersama rombongan wanita lain. Karena harapan keselamatan sudah dijamin bersama rombongannya.” (Lihat: Hasyiyah Qulyubi Wa ‘Umairah ‘Ala Syarh Al-Mahalli ‘Ala Al-Minhaj, vol. II hlm. 113, cet. Al-Haromain)
Kesimpulannya, ibadah haji bagi perempuan seorang diri tanpa disertai mahram atau suami dapat dibenarkan selama ia tergabung dalam rombongan jamaah haji perempuan lainnya. Apalagi keamanan para jamaah haji selama berada di Tanah Suci seluruhnya telah dijamin dan dilindungi atas nama tanggung jawab negara.
(Dyah Ratna Meta Novia)