2. Muhammadiyah
Dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 tahun 1989 di Malang, Jawa Timur, menyimpulkan bahwa para ulama sepakat perempuan Muslimah haram menikah dengan laki-laki musyrik. Putusan tersebut menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muchammad Ichsan sejalan dengan penggalan QS. al-Baqarah ayat 221.
Pengharaman nikah beda agama merupakan upaya sadd adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga keimanan calon suami/istri dan anak-anak yang akan dilahirkan. Terkait perbedaan Dalam keterangan lain di situs Muhammadiyah.or.id disebutkan kalau ada perselisihan para ulama ialah: Bolehkah laki-laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (yaitu Yahudi dan Nasrani: Katolik/Protestan)?
Ada yang mengatakan boleh, dengan bersandarkan kepada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5. Ada pula yang mengatakan tidak boleh. Namun demikian kami telah mentarjihkan/menguatkan pendapat yang mengatakan tidak boleh dengan beberapa alasan, antara lain: Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama dengan Ahlul Kitab yang ada pada waktu zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
3. NU
Dikutip dari NU Online, Pernikahan beda agama pernah dibahas dalam Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama tahun 1989. Dalam kesempatan itu, para ulama NU menetapkan pernikahan antarumat berbeda agama adalah tidak sah.
Ketetapan tersebut senada dengan keputusan yang pernah dibuat ulama-ulama NU pada Muktamar NU dan Muktamar Thariqah Mu’tabarah tahun 1968. Para ulama mendasari keputusan hukumnya itu pada pandangan para ulama terdahulu.
Di antaranya, berdasarkan kitab Hasyiyah as-Syarqawi karya Syekh Abdullah bin Hijazi bin Ibrahim as-Syarqawi. Dijelaskan dalam kitab tersebut, bahwa pernikahan seorang Muslim dengan perempuan non-Muslim selain ahli kitab murni adalah batal. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221.
(Maruf El Rumi)