Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Hukum Puasa Arafah jika Belum Bayar Utang Ramadhan

Hantoro , Jurnalis-Senin, 03 Juni 2024 |14:03 WIB
Hukum Puasa Arafah jika Belum Bayar Utang Ramadhan
Ilustrasi hukum puasa Arafah ketika masih punya utang puasa Ramadhan. (Foto: Istimewa/Muhammadiyah.or.id)
A
A
A

HUKUM puasa Arafah jika belum bayar utang puasa Ramadhan dibahas dalam artikel berikut ini. Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal M.Sc menerangkan para fuqoha atau ahli hukum Islam berselisih pendapat terkait hukum melakukan puasa sunnah sebelum melunasi qadha' puasa Ramadhan.

Para ulama Hanafiyah membolehkan melakukan puasa sunnah sebelum qadha' puasa Ramadhan. Mereka sama sekali tidak mengatakannya makruh. Alasannya, qadha' puasa tidak mesti dilakukan sesegera mungkin. 

Ibnu 'Abdin mengatakan, "Seandainya wajib qadha' puasa dilakukan sesegera mungkin (tanpa boleh menunda-nunda), tentu akan makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qadha' puasa Ramadhan. Qadha' puasa bisa saja diakhirkan selama masih lapang waktunya."

"Para ulama Malikiyah dan Syafi'iyah berpendapat tentang bolehnya namun disertai makruh jika seseorang mendahulukan puasa sunnah dari qadha' puasa. Karena jika melakukan seperti ini berarti seseorang mengakhirkan yang wajib (demi mengerjakan yang sunnah)," jelas Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal, dikutip dari laman Rumaysho, Senin (3/6/2024). 

Info grafis keutamaan hari Arafah. (Foto: Okezone)

Ad-Dasuqi mengatakan, "Dimakruhkan jika seseorang mendahulukan puasa sunnah padahal masih memiliki tanggungan puasa wajib seperti puasa nadzar, qadha' puasa, dan puasa kafaroh. Dikatakan makruh baik puasa sunnah yang dilakukan dari puasa wajib adalah puasa yang tidak begitu dianjurkan atau puasa sunnah tersebut adalah puasa yang amat ditekankan seperti puasa Asyura, puasa pada 9 Dzulhijjah. Demikian pendapat yang lebih kuat."

Para ulama Hanabilah menyatakan diharamkan mendahulukan puasa sunnah sebelum meng-qadha' puasa Ramadhan. Mereka katakan bahwa tidak sah jika seseorang melakukan puasa sunnah padahal masih memiliki utang puasa Ramadhan meskipun waktu untuk meng-qadha' puasa tadi masih lapang. Sudah sepatutnya seseorang mendahulukan yang wajib, yaitu dengan mendahulukan qadha’ puasa. Jika seseorang memiliki kewajiban puasa nadzar, ia tetap melakukannya setelah menunaikan kewajiban puasa Ramadhan (qadha’ puasa Ramadhan). 

Dalil dari mereka adalah hadits Abu Hurairah:

من صام تطوّعاً وعليه من رمضان شيء لم يقضه فإنّه لا يتقبّل منه حتّى يصومه

"Barang siapa yang melakukan puasa sunnah namun masih memiliki utang puasa Ramadhan, maka puasa sunnah tersebut tidak akan diterima sampai ia menunaikan yang wajib."

Catatan penting, hadits ini adalah hadits yang dho'if (lemah). (HR Ahmad 3/352. Hadits ini diriwayatkan Ibnu Lahi'ah dan dinilai dho'if, dan di dalamnya ada perowi yang matruk (Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr, 3/86). Syekh Al Albani dalam Silsilah Adh-Dho'ifah wal Mawdhu'ah (2/235) mengatakan bahwa hadits ini dho'if. Begitu pula hadits ini di-dho'if-kan oleh Syekh Syu'aib Al Arnauth dalam takhrij Musnad Imam Ahmad (3/352))

Para ulama Hanabilah juga mengqiyaskan (menganalogikan) dengan haji. Jika seseorang menghajikan orang lain (padahal ia sendiri belum berhaji) atau ia melakukan haji yang sunnah sebelum haji yang wajib, maka seperti ini tidak dibolehkan. 

Merujuk Dalil 

Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal menjelaskan dalil yang menunjukkan bahwa terlarang mendahulukan puasa sunnah dari puasa wajib adalah hadits yang dho'if sebagaimana diterangkan tersebut.

Dalam meng-qadha' puasa Ramadhan, waktunya amat longgar, yaitu sampai Ramadhan berikutnya. Allah Ta'ala sendiri memutlakkan qadha' puasa dan tidak memerintahkan sesegera mungkin sebagaimana dalam firman-Nya:

فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

"Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain." (QS Al Baqarah: 185)

Begitu pula dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh 'Aisyah radhiyallahu 'anha. Dari Abu Salamah, beliau mengatakan bahwa beliau mendengar 'Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan:

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

"Aku masih memiliki utang puasa Ramadhan. Aku tidaklah mampu meng-qadha'nya kecuali di bulan Sya'ban." Yahya (salah satu perowi hadits) mengatakan bahwa hal ini dilakukan 'Aisyah karena beliau sibuk mengurus Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. (HR Bukhari nomor 1950 dan Muslim: 1146)

Sebagaimana pelajaran dari hadits 'Aisyah yang di mana beliau baru meng-qadha' puasanya saat di bulan Sya'ban, dari hadits tersebut Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, "Tidak boleh mengakhirkan qadha' puasa lewat dari Ramadhan berikutnya." (Fathul Bari Syarh Shahih Al Bukhari, 4: 191)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Disunnahkan menyegerakan mengqadha’ puasa Ramadhan. Jika ditunda, maka tetaplah sah menurut para ulama muhaqqiqin, fuqaha dan ulama ahli ushul. Mereka menyatakan bahwa yang penting punya azam (tekad) untuk melunasi qadha’ tersebut." (Syarh Shahih Muslim, 8: 23)

Syekh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Inilah pendapat terkuat dan lebih tepat (yaitu boleh melakukan puasa sunnah sebelum qadha’ puasa selama waktunya masih lapang, pen). Jika seseorang melakukan puasa sunnah sebelum qadha’ puasa, puasanya sah dan ia pun tidak berdosa. Karena analogi (qiyas) dalam hal ini benar. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), 'Barang siapa yang sakit atau dalam keadaan bersafar (lantas ia tidak berpuasa), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.' (QS Al Baqarah: 185). Dalam ayat ini dikatakan untuk mengqadha’ puasanya di hari lainnya dan tidak disyaratkan oleh Allah Ta’ala untuk berturut-turut. Seandainya disyaratkan berturut-turut, maka tentu qadha' tersebut harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam masalah mendahulukan puasa sunnah dari qadha' puasa ada kelapangan." (Syarhul Mumthi', Syekh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, 6: 448)

"Kesimpulannya, masih boleh berpuasa Arafah maupun berpuasa sunnah di awal Dzulhijjah meskipun memiliki utang puasa (qadha puasa). Asalkan yang punya utang puasa tersebut bertekad untuk melunasinya. Wallahu Ta'ala a'lam," pungkas Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal. 

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement