Tauhid dalam Perspektif Metafisika

, Jurnalis
Selasa 28 April 2020 17:17 WIB
Ilmu Tasawuf (Foto: Teknistore)
Share :

Bismillahirrahmanirrahim, S.Haidar Amuli dalam kitab Asrar asy-Syari'ah wa Athwar-ath-Thariqah wa Anwar al-Haqiqah, menjelaskan bahwa Iman adalah sebuah ikrar dan pembenaran serta pengakuan terhadap Keesaan Tuhan.

Selanjutnya Taslim (ber Islam) sebagai sebuah jalan ketertundukan pada seluruh Iradah (kehendak) dan ketetapan-ketetapan Syariat-Nya, lalu menunaikan amal saleh dan kebajikan (Ihsan).

Berpijak dari kalimah *لااله الا الله* bermakna Tiada Tuhan selain Allah...menjadi penjelas ontologis tentang Sang Maha Tunggal, tak ada sekutu bagi-Nya. Dia adalah hakikat yang tak terbandingkan. Sang Kuddus yang Maha Suci dari keterikatan apapun adalah sisi Tanzih. Tuhan dalam dimensi ini, Maha independen dan tak memiliki hubungan apapun dengan selain-Nya.

Sementara Al Haq atau Sang Kebenaran, meminjam istilah Frithjop Schuon, Dia Sang Absolut dan Infinite (Maha tak Terbatas) meniscayakan memancar (al-fayd) pada sisi Tasybih yang merupakan dimensi keserupaan Tuhan dengan kosmos.

Dalam terminologi Sufi, Syechul Akbar Ibn Arabi sisi Tasybih ini adalah Tajally Asma dan Sifat. Dari Asma Tuhan yang tidak tampak (Al Bathin) memanifestasi dalam beragam level eksistensi (Al Dzahir). Chittick merujuk Qunawi menggunakakan istilah Five Divine Presences, sementara Qaysari menjelaskan dengan istilah al Hadlarat al Khamsa al Ilahiyah untuk menguraikan kehadiran Tuhan dalam struktur hirarkis, Tuhan mentajally dari maqam Ahadiyah-Wahidiyah-Jabarut-Malakut hingga alam Mulk.

Dengan paradigma di atas, alam semesta difahami sebagai gambaran kebenaran dan menjadi simbol supraphysical dari Sang Cahaya Agung. Apapun yang termanifestasi dalam alam semesta adalah ekspresi dari nama-nama (asmaul husna) dan gerak af'al-Nya. Kejadian apapun yang terjadi di alam adalah Iradah-Nya (kehendak-Nya) dan akibat dari gerak cinta-Nya (the motion of love).

Dalam prinsip kausalitas, alam mulk atau alam semesta fisik inilah menjadi sebab ontologis dan epistemologis tentang Wujud Tuhan. Alam menjadi sebab ontologis tentang hakikat wujud-Nya, sementara dalam sebab epistimologis, alam menjadi sumber pengetahuan tentang keberadaan-Nya. Dalam paradigma logika kausalitas, sebab ontologis atau epistemologis dikenal dengan istilah al-burhan al-limmi.

Dengan demikian, Tauhid dalam perspektif tasawuf tidak saja mengimani sisi tanzih Tuhan tetapi juga mengimani sisi tasybih. Implikasi dari kesadaran terhadap Sang wujud dalam ragam manifestasi, melahirkan kesadaran relasional eksistensial dan sikap etis terhadap sesama manusia dan alam sekitar.

Relasi yang terbangun antara manusia dan alam tidak lagi hubungan antara subyek obyek,yang memosisikan manusia sebagai pusat segala galanya dan menjadikan alam sebagai the other, yang bisa diekspoitasi sesuai dengan kehendak bebas dan kepentingan manusia semata. Tauhid mengajarkan hubungan yang seimbang (equilibrium) antara manusia dan alam berdasarkan kesadaran manusia, bahwa entitas apapun di dunia ini hidup dan bertasbih dan memiliki hubungan eksistensial dengan Tuhan.

Demikian juga hubungan antara manusia, lelaki dan perempuan harus dimaknai sebagai relasi seimbang antara sisi maskulinitas dan feminitas, tidak dibenarkan yang satu mendominasi kepada yang lain. Karena jika hal ini terjadi sama saja dengan pengingkaran terhadap manifestasi Jalal dan Jamal Tuhan yang mengalir dalam individualitas manusia.

Tauhid dalam perspektif tasawuf juga melahirkan kesadaran, bahwa relasi Manusia dan Tuhan tidak lagi on base hubungan dualitas antara yang mencipta dan dicipta, tetapi sejatinya yang terbangun secara eksistensial adalah hubungan Tuhan dan manifestasinya. Karena secara esensial manusia menjadi lokus pengejawantahan nama-nama dan sifat Tuhan yang paling sepurna.

Inti ajaran tauhid dari perspektif tasawuf adalah, bahwa Tuhan sebagai pusat (The Centre) dan sumber dari seluruh eksistensi dan selain Tuhan adalah manifestasi. Karena manusia adalah manifestasi yang paling sempurna, dalam dirinya terkandung lapisan lapisan kesadaran, dari kesadaran fisik sampai pada kesadaran spirit (ruh), maka dalam diri manusia terpendam esensi ke ilahian (Divine essence).

Untuk itu semoga dari diri manusia melahirkan ragam pengetahuan (baca: hikmah), cinta dan kebaikan untuk sesama dan alam semesta. "Dan Allah senantiasa mengatakan kebenaran dan Dia selalu menunjukkan jalan" (QS:33:4).

Oleh : Zainun Nasihah Ghufron

Penulis adalah Pengurus Pusat ISNU dan Mahasiswi Sekolah Paska Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, konsentrasi Pemikiran Islam (Filsafat)

(Muhammad Saifullah )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya