Hakikat syukur menurut Ibnul Qayyim dalam Thariq Al-Hijratain (hlm. 508) adalah,
الثَّنَاءُ عَلَى النِّعَمِ وَمَحَبَّتُهُ وَالعَمَلُ بِطَاعَتِهِ
“Memuji atas nikmat dan mencintai nikmat tersebut, serta memanfaatkan nikmat untuk ketaatan.”
Dikutip dari Laman Rumasyo pada Jumat (18/3/2021) disebutkan, Al-Munawi rahimahullah berkata, “Syukur itu ada dua tahapan. Pertama adalah bersyukur dengan lisan yaitu memuji pada yang memberikan nikmat. Sedangkan terakhir adalah bersyukur dengan semua anggota badan, yaitu membalas nikmat dengan yang pantas. Orang yang banyak bersyukur (asy-syakuur) adalah yang mencurahkan usahanya dalam menunaikan rasa syukur dengan hati, lisan, dan anggota badan dalam bentuk meyakini dan mengakui.” (Mawsu’ah Nadhrah An-Na’im, 6:2393)
Dalam Madarij As-Salikin (1:337), Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
أَنَّ المَعَاصِي كُلَّهَا مِنْ نَوْعِ الكُفْرِ الأَصْغَرِ فَإِنَّهَا ضِدُّ الشُّكْرِ الَّذِي هُوَ العَمَلُ بِالطَّاعَةِ
“Seluruh maksiat termasuk dalam kufur ashghar. Maksiat ini bertolak belakang dengan sikap syukur. Karena bentuk syukur adalah dengan beramal ketaatan.”
(Vitrianda Hilba Siregar)