MENYELAMI berkah Ramadan tiada batasnya. Ibadah tahunan umat Islam yang satu ini bukan sekadar ritual belaka. Ada banyak berkah yang dapat dirasakan oleh setiap Muslim jika mau mentadarusi setiap amalan di Bulan Suci yang agung ini.
Amalan bukan saja yang terjadi atas dasar titah tekstual saja, akan tetapi segala hiruk pikuk di bulan suci ini semuanya merupakan bagian dari tanda kekuasaan Allah yang harus ditadarusi. Bagian ayat-ayat di luar teks inilah kadang terlupakan, walau memang tidak sepenuhnya, tapi memang cenderung tidak menjadi kajian yang banyak diminati.
Sebenarnya, urgensi kajian-kajian yang bersifat normatif-tekstualis tetap harus digalakkan. Bagaimanapun unsur pembeda antara Islam dan agama-agama lain terletak dari konsistensi dan otentisitas teks ajaran (wahyu) yang terus terjaga hingga saat ini.
Dalam hal ini, umat Islam secara keseluruhan harus dengan ikhlas menghaturkan terima kasih bagi para huffadzul Qur’an (penghafal Alquran) yang senantiasa semangat untuk menjaga Alquran dari kepunahannya.
Bahkan, untuk di Indonesia, rumah-rumah tahfidz, pesantren, dan sekolah-sekolah Islam yang berdiri sudah ribuan. Inilah kondisi yang sangat membahagiakan, karena Islam di Bumi Pertiwi sungguh mendapat apresiasi dan antusiasme yang besar dari umat dan negara tercinta ini. Alhamdulillah.
Dari satu segmen di atas, kondisi umat Islam memang layak diacungi jempol. Namun pada segmen selanjutnya, yaitu pada konteks pengamalan ajaran Alquran belum dapat disejajarkan dengan upaya para huffadz di atas.
Hal ini tidak dimaksudkan untuk mengerdilkan sejumlah pencapaian gemilang sebagian umat Islam yang benar-benar telah menjalankan setiap perbuatan, ucapan, dan ibadahnya atas dasar Alquran.
Namun, apa yang akan disampaikan ini adalah bagian kecil yang mempunyai predikat kurang sepadan dengan sejumlah ajaran yang terdapat di Alquran itu sendiri. Bagian kecil yang dimaksudkan itu adalah pemahaman mengenai makna perbedaan atau pluralitas.
Secara implisit, tadarus ringan ini adalah lanjutan dari kajian atau tadarus tekstualis, karena Alquran secara normatif telah menyampaikan keniscayaan adanya pluralitas dalam kehidupan. Perbedaan suku, jenis kelamin, dan budaya adalah makna dari pluralitas yang disampaikan dalam Alquran. (lihat QS 49: 13)
Persepektif pluralitas pada makna perbedaan suku, agama, bahasa dan budaya secara wacana dan aksi telah mendapatkan ruangnya. Sehingga, kemudian dalam konteks keberagaman agama muncullah konsespsi pluralisme agama.
Konsepsi ini adalah buah dari olah pikir tekstual dan kontekstual dalam rangka meramu perdamaian antar agama. Sementara pada keberagaman suku atau etnis juga telah banyak melahirkan wacana dan aksi, baik itu yang berbasis nilai-nilai kebangsaan ataupun yang bedasar tujuan-tujuan universal kemanusiaan. Semua respon yang mengemuka tersebut adalah, dalam rangka menciptakan dunia yang aman, damai dan tentram.
Wacana dan aksi dalam merespons pluralitas di atas adalah hal yang cukup populer dewasa ini. Sejumlah kalangan pun mempunyai aneka tanggapan terhadap persoalan tersebut.
Sebagai contoh, dalam wacana dan aksi mengenai pluralisme agama, sebagian kelompok umat muslim Islam ada yang setuju, sementara kelompok yang lain tidak. Perbedaan tanggapan tersebut tentu adalah hal wajar karena yang disinggung dalam wacana pluralisme agama memang tergolong sensitif.
Maka, respons pluralitas yang sangat populer dewasa ini tentu adalah agenda besar yang tidak akan bisa terlunasi oleh kedangkalan pengetahuan penulis.
Berdasar dua alasan di atas, yaitu antara wacana sensitif dan kedangkalan pengetahuan penulis, maka apa yang akan ditadarusi dalam tulisan ini berbeda dengan makna pluralitas yang sangat populer tersebut. Makna pluralitas atau perbedaam sejatinya tidaklah hanya perbedaan suku, agama, bahasa, jenis kelamin, dan budaya saja. Perbedaan kemampuan finansial, intelektual, relegiuitas dan strata sosial, tentu juga menjadi bagian dari kategori pluralitas itu sendiri.
Maka pembicaraan mengenai perbedaan atau pluralitas sejatinya tidaklah perlu sampai melintasi lapak agama, etnis, dan budaya. Dengan bahasa yang lain, konsepsi pemahaman mengenai pluralitas tersebut dapat dikaji dari sudut pandang yang sangat domestik sekali pun.
Memahami makna pluralitas dari sudut pandang yang tergolong domestik tentu akan sedikit mengurangi kontroversi antar individu dan kelompok. Konsepsi domestik tersebut bisa saja dalam konteks lingkungan keluarga kecil.
Di dalam suatu keluarga misalnya ada ayah, ibu dan anak, dimana setiap status yang melekat pada masing-masing anggota keluarga tentu berbeda, sekaligus pada saat yang sama juga mempunyai konsekwensi hak dan kewajiban yang berbeda pula.
Kewajiban ayah tentu mempunyai perbedaan dengan kewajiban ibu dan anak, begitu juga mengenai hak-haknya. Adanya perbedaan hak dan kewajiban inilah yang kemudian akan menghantarkan pada adanya kebutuhan hubungan antar masing-masing anggota keluarga tersebut, demi terciptanya keluarga yang harmonis. Dengan demikian, yang dibutuhkan dalam memahami pluralitas adalah, kesadaran akan adanya status, hak dan kewajiban yang berbeda serta terciptanya hubungan antar-unsur.
Contoh kecil dalam lingkungan keluarga di atas begitu sangat simpel, namun belum tentu sepenuhnya bisa berjalan mulus jika ditarik pada area yang lebih luas.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara misalnya, dalam konteks Indonesia pemahaman mengenai pluralitas domestik belum sepenuhnya bisa dipahami. Di sana sini masih sangat sering terjadi tumpang tindih mengenai hak dan kewajiban. Sebagai contoh, dalam sebuah urusan kasus hukum bagi sang koruptor, di mana sang hakim semestinya mempunyai kewajiban menjerat sang koruptor, malah sang hakim sendiri tersandung kasus suap, sehingga kewajiban dan hak tidak terpenuhi dengan baik.
Timpangnya pemahaman mengenai pluralitas dalam konteks domestik tidak hanya berlangsung pada tataran parsial saja. Bahkan, gejalanya sudah menasional. Gejala tersebut tertuang pada setiap kebijakan pemerintah dan fenomena politik yang terjadi.
Para wakil rakyat yang sering tidak merasa jadi wakil rakyat, sehingga apa yang menjadi titah atau suara rakyat tergenjet oleh kepentingan-kepentingan yang mengabaikan makna relasi antar perbedaan. Semestinya yang terjadi, mereka para wakil rakyat harus berani menyuarakan apa yang diinginkan rakyat, hal tersebut juga dimaksdukan sebagai bentuk pemahaman mengenai satatus dirinya serta hubungannya dengan rakyat sebagai status yang berbeda dengan dirinya.
Untuk itu, pemahaman status sosial yang melekat pada setiap individu dalam konteks kehidupan berbangsa harus lebih awal dipahami. Sehingga pada tataran konkret, tidak ada Presiden yang bersikap seperti rakyat jelata, tidak ada hakim yang bersikap seperti maling, tidak ada pejabat yang bertindak seperti penjahat, dan seterusnya.
Lewat tulisan ini, setiap individu dengan satatus yang bergam, dari mereka para individu yang berstatus ustadz, harus mengayomi umat, yang berstatus kaya harus menyantuni yang miskin, yang berstatus pemimpin harus baik memimpin dan pada stataus-satatus lainnya juga berlaku demikian adanya.
Inilah inti dari pemahaman makna relasi antar perbedaan yang semestinya berjalan.
Semoga momentum Ramadan menjadikan makna pluralitas semakin dipahami dengan baik. Ramadan berkah selalu melahirkan sosok yang sehat, cerdas, santun dan taat.
(Anton Suhartono)