Traore menggunakan bahan-bahan tradisional, seperti batang dan cabang pohon yang diaduk bersamaan bata lumpur kering dan juga tanah liat.
Untuk menjaga agar bangunan masjid tetap berdiri kokoh, setiap tahunnya warga Djenne menggelar festival untuk mengganti lumpur yang menyelimuti masjid agung tersebut. Prosesi itu disebut Crepissage de la Grand Mosquée.
Festival itu diadakan karena cuaca yang sangat kontras di Mali. Terkadang kering dan panas yang berkepanjangan dan terkadang diguyur dengan curah hujan yang lebat sehingga membuat keretakan dan kebocoran di sejumlah titik masjid.
Meski dibangun dengan bahan yang sangat sederhana, Masjid Agung Djenne yang memiliki tinggi 20 meter dan panjang 91 meter ini memiliki desain tak kalah unik, yaitu gabungan dari hewan landak hingga organ gereja.
Di balik sejarah Masjid Raya Djenne yang menjadi bagian penting dari sejarah Islam di Afrika, masjid megah itu kini menjadi incaran para wisatawan karena sarat nilai sejarah dan gaya arsitektur bangunannya yang mengagumkan.
(Vitrianda Hilba Siregar)