7. Menurut bahasa
Dari tinjauan bahasa atau linguistik, kata halal dari segi bahasa terambil dari kata halla atau halala yang mempunyai berbaga bentuk dan makna sesuai rangkaian kalimatnya. Makna-makna tersebut antara lain, menyelesaikan problem atau kesulitan atau meluruskan benang kusut atau mencairkan yang membeku atau melepaskan ikatan yang membelenggu.
Dengan demikian, jika kita memahami kata halal bihalal dari tinjauan kebahasaan ini, seorang akan memahami tujuan menyambung apa-apa yang tadinya putus menjadi tersambung kembali. Hal ini dimugnkinkan jika para pelaku menginginkan halal bihalal sebagai instrumen silaturrahim untuk saling maaf-memaafkan sehingga seseorang menemukan hakikat Idul Fitri.
8. Dari tinjauan Qurani
Dari tinjauan Qurani, halal yang dituntut adalah halal yang thayyib, yang baik lagi menyenangkan. Dengan kata lain, Alquran menuntut agar setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap Muslim harus merupakan sesuatu yang baik dan menyenangkan bagi semua pihak. Inilah yang menjadi sebab mengapa Alquran tidak hanya menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetapi juga lebih dari itu yakni berbuat baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan kepadanya.
9. Menyambungkan hubungan yang putus
Dari semua penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa halal bihalal menuntut pelaku yang terlibat agar menyambungkan hubungan yang putus, mewujudkan keharmonisan dari sebuah konflik, serta berbuat baik secara berkelanjutan.
Kesan yang berupaya diejawantahkan Kiai Wahab Chasbullah lebih dari sekadar saling memaafkan, tetapi mampu menciptakan kondisi di mana persatuan di antara anak bangsa tercipta untuk peneguhan negara. Maka itu, halal bihalal lebih dari sekadar ritus keagamaan, tetapi juga kemanusiaan, kebangsaan, dan tradisi yang positif.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)