Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Cerita Haru Petani Naik Haji, Mulai Solat di Umur 25 Tahun Hingga Menyesal Tak Bisa Mengaji

Bachtiar Rojab , Jurnalis-Rabu, 08 Juni 2022 |11:03 WIB
Cerita Haru Petani Naik Haji, Mulai Solat di Umur 25 Tahun Hingga Menyesal Tak Bisa Mengaji
Sonaun, petani asal Pati yang menunaikan Ibadah Haji. (Foto: Kemenag)
A
A
A

JAKARTA - Seorang petani bernama Sonaun merupakan kelahiran Pati, 10 Juni 1965, dari pasangan almarhum Ngasiyo-Fatimah. Dengan demikian, pada tanggal 10 Juni nanti berulang tahun ke-57. Ulang tahunnya akan menjadi istimewa. Sebab, di tanggal itu Sonaun tengah berada di Madinah, Arab Saudi.

"Saya bersyukur sekali bisa naik haji. Waktu masih muda ya tidak terpikir. Wong saya ini sembahyang lima waktu saja baru mulai umur 25 tahun." ujar Sonaun dikutip MPI dalam laman resmi Kemenag, Rabu (8/6/2022).

Sonaun masuk Embarkasi Solo pada 3 Juni 2022. Dia tergabung dengan kloter 1 Embarkasi Solo (SOC 1) yang berangkat 4 Juni, pukul 00.30 WIB. Pesawat Garuda yang mengantarnya mendarat di Bandara Amir Mohammad bin Abdul Aziz (AMAA), Madinah, pada hari yang sama, sekitar pukul 08.58 waktu Arab Saudi (WAS).

BACA JUGA:2.838 Jamaah Calon Haji Kembali Diberangkatkan ke Tanah Suci, Ini Daftarnya

Sonaun sendiri berasal dari Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dia jemaah haji satu-satunya dari Desa Brati. Sonaun terbilang petani yang istimewa, karena memiliki sawah 1 hektar. Selain itu, istri Sonaun, bernama Kusriwati (47 tahun) bekerja di toko kelontong miliknya. Namun, ikhtiarnya mampu mengantarkan Sonaun berangkat ke tanah suci.

"Hasil tani saya ditabung. Kebutuhan hidup sehari-hari dari istri yang pedagang kelontong," terang bapak tiga anak dan dua cucu ini.

Sonaun bercerita, Ia mendaftar haji tahun 2011 dengan total setoran untuk suami-istri sebesar 50 juta. "Beruntung sekali istri saya itu jualan, jadi saya bisa nabung," tegasnya.

Pembayaran haji dilunasi pada tahun 2020 sebelum adanya kebijakan untuk membatalkan keberangkatan dikarenakan pandemi Covid-19 mengguncang Tanah Air. Suami istri membayar masing-masing 11. 250.000 rupiah. Biaya haji total Rp36,3 juta.

Untuk ukuran petani di Kecamatan Kayen, Sonaun tidak masuk golongan petani kecil, karena dia menggarap lahan seluas 5 hektar. Sonaun menanami lahannya dengan padi dan jagung. "Pernah menanam bawang tapi gagal, harganya anjlok. Setelah itu, saya tanami padi dan jagung terus."

Sonaun termasuk petani yang beruntung, karena 1 hektar sawah dari 5 hektar yang digarap punya sendiri. "Yang setengah hektar warisan orang tua, setengahnya lagi saya beli sendiri, dari jual sapi pejantan tiga ekor, gemuk-gemuk. Awal tahuan 1990an, saya jual 2 juta dan hasilnya dibelikan sawah setengah hektar," ungkapnya.

Sonaun saat masa anak-anak adalah seorang penggembala. Menginjak remaja, Sonaun mulai membantu ayahnya di sawah. "Yang bantu bapak di sawah cuma saya, karena kakak saya perempuan, sementara empat adik saya masih kecil."

Sonaun mengaku penghasilannya dari dunia pertanian selama setahun sekitar 250 juta: keuntungan 100 juta, biaya produksinya 150 juta. "Penghasilan saya 250 juta setahun itu rata-rata ya, jika sedang panen bagus dan harganya bagus," katanya.

Ikhtiar Sonaun di bidang pertanian tidak cuma menghantarkannya ke tanah suci menunaikan rukun Islam kelima, tapi juga berhasil membuat anak-anaknya mengenyam pendidikan lebih baik darinya yang cuma lulusan SD, begitu juga istri, cuma lulusan SD. Selain sekolah, anak-anaknya juga mendapatkan pendidikan agama di pesantren.

Anak pertamanya (Siti Mutmainnah) dan anak keduanya (Muhammad Yusuf) alumni Pesantren An-Nur Mojolawaran, Gabus, Pati. Pesantren ini didirikan oleh KH Nur Kholis. Anak terakhirnya, Abdul Hidayat, masih nyantri di Pesantren Al-Kholil, Pasuruan, Kayen, Pati. "Awalnya di Kudus, tapi musim korona saya pindah yang dekat rumah saja," katanya.

Sebetulnya, yang memberi penjelasan lengkap anaknya nyantri di mana dan kiainya siapa bukan Sonaun, tetapi teman-teman sekamarnya di pemondokan Madinah. Sonaun sendiri antara ingat dan lupa atau karena tidak akrab dengan nama-nama pesantren.

Untung saja, empat temannya mengerti pesantren yang dimaksud Sonaun. Empat temannya bernama Mat Sholeh (56 tahun), Arip Suparjo (54 tahun), Sudarmin (61 tahun), dan Sagiman (61 tahun). Kecuali Sagimin yang sedang istirahat, obrolan di kamar pemondokan dengan Sonaun berjalan gayeng dan akrab. Mereka saling menimpali dengan santai. "Saya tidak bisa merokok di dalam," kata salah satu dari mereka disambut tawa.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement