SAAT ini kaum Muslimin sudah memasuki bulan Safar 1445 Hijriah. Safar merupakan bulan kedua dalam kalender Hijriah setelah Muharam.
Dalam bahasa Arab, Safar artinya kosong. Ini berawal dari kebiasaan orang Arab ketika zaman dulu pada bulan Safar mereka meninggalkan rumah sehingga menjadi kosong.
Selain itu, terdapat mitos Safar adalah bulan sial. Ada juga yang menyebut Safar diambil dari nama sebuah penyakit yang dipercaya oleh orang Arab jahiliyah.
Penyakit tersebut menyerang perut hingga terasa sakit karena ada ulat-ulat besar yang bersarang di dalamnya. Sayangnya, cerita tentang Safar yang dianggap sebagai bulan sial terus berkembang. Padahal, ini semua hanyalah mitos.
Dikutip dari laman resmi Majelis Ulama Indonesia (MUI), dijelaskan dalam buku "Pokok-Pokok Akidah yang Benar" karya HA Zahri, kepercayaan bahwa bulan Safar mendatangkan kesialan dapat disebut juga sebagai jenis khurafat atau mitos.
Secara bahasa artinya cerita bohong dan secara istilah khurafat berarti cerita rekaan atau khayalan. Kepercayaan tersebut bahkan dibantah langsung oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam dalam sebuah hadits yang berbunyi:
لا عدوى ولا طيرة ولا هامَة ولا صَفَر
"Tidak ada kesialan karena 'adwa (keyakinan adanya penularan penyakit), tidak ada thiyarah (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak ada hammah (keyakinan jahiliyah tentang rengkarnasi) dan tidak pula Safar (menganggap bulan Safar sebagai bulan haram atau keramat)." (HR Bukhari)
Muhammad Khoirul Huda dalam bukunya "Ilmu Matan Hadis", mengutip penjelasan Abu 'Ubaid bahwa melalui hadits tersebut, Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam sedang berupaya mengkritik keyakinan khurafat kaum jahiliyyah.
Keyakinan bahwa kesialan, keburukan nasib, dan mara bahaya disebabkan sesuatu di luar takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala seperti karena pengaruh hama/wabah ('adwa), maupun musim atau waktu tertentu seperti bulan Safar.
Kepercayaan semacam itu bukanlah bagian dari ciri orang beriman, yakni orang yang memahami bahwa segala rahasia dari peristiwa-peristiwa itu hanya ada dalam genggaman Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan tidaklah suatu peristiwa itu terjadi melainkan karena rencana-Nya.
Bukanlah keyakinan seorang mukmin pula untuk membenci bulan Safar, ataupun enggan menyambutnya, ataupun menahan diri dari urusan hidup seperti pada hari-hari dan bulan lain biasanya.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)