“Kita harus memastikan agar klaim ‘matinya kepakaran’ ini tidak mendapatkan legitimasi yang kuat. Ilmu para kiai, santri, dan ulama tidak bisa digantikan oleh algoritma,” katanya.
KH Arif menambahkan, santri memiliki posisi unik dalam masyarakat Indonesia, karena selain berperan sebagai penjaga moralitas, mereka juga dapat menjadi agen perubahan yang kritis terhadap berbagai isu sosial dan politik.
“Kalau dalam kaidah fikih disebutkan ‘amrun bisyain amrun biwasailihi,’ artinya jika kita menghendaki peran maksimal dari ulama, maka peran maksimal dari santri dan pesantren juga harus diwujudkan,” ujarnya.
Hal ini menunjukkan pentingnya sinergi antara pendidikan agama dan keterlibatan aktif dalam berbagai persoalan masyarakat.
Menurut KH Arif, posisi ulama dan santri tidak akan tergantikan sepenuhnya oleh perkembangan teknologi, karena mereka memiliki aspek-aspek yang tidak dimiliki oleh mesin, seperti hati, interpretasi, dan reputasi.
“Kiai, ulama, dan santri itu punya hati dan pengalaman yang tidak bisa diprogramkan dalam algoritma,” katanya.
KH Marsudi dan KH Arif sepakat bahwa santri harus mampu menjaga amanah dan berkontribusi dalam membangun bangsa, dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai keislaman dan beradaptasi dengan perubahan global.
Dengan demikian, santri tidak hanya menjadi pewaris tradisi, tetapi juga pemimpin masa depan yang mampu menjawab tantangan-tantangan baru di era digital.
(Erha Aprili Ramadhoni)