Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Apel, Pemuda, serta Wanita Buta dan Tuli

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Selasa, 02 September 2025 |18:19 WIB
Kisah Apel, Pemuda, serta Wanita Buta dan Tuli
Kisah Apel, Pemuda, serta Wanita Buta dan Tuli (Ilustrasi/Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Kisah mengenai seorang pemuda, apel, serta wanita yang tuli, buta, lumpuh, bisu, dan lumpuh menarik disimak. Kisah tersebut mengandung banyak pesan yang dapat dipetik. 

Dikisahkan pada suatu hari, seorang pemuda sederhana bernama Tsabit sedang berjalan di tepi sungai, melansir laman NU, Selasa (2/9/2025). Perutnya lapar. Sementara ia tidak memiliki bekal apa pun untuk dimakan. 

Ketika sedang berwudhu di tepi sungai tersebut, tanpa sengaja matanya tertuju pada sebuah apel yang hanyut terbaya aliran sungai. Tanpa berpikir panjang, ia mengambil apel itu, membasuhnya sebentar, lalu memakannya dengan penuh syukur. 

Namun, setelah Tsabit menghabiskan separuh dari apel tersebut, hatinya bergetar. Ia tersadar apel itu bukanlah miliknya. Karena itu, ia bertekad mencari pemilik apel tersebut dan meminta kerelaan darinya.  

Ia menelusuri aliran sungai hingga akhirnya menemukan sebuah kebun apel yang tampak luas dan terawat. Dari situlah ia menduga apel yang hanyut itu berasal kebun tersebut. Tsabit pun memberanikan diri mengetuk pintu kebun, dan bertanya kepada seseorang yang ada di sana. 

“Tuan, tadi saya menemukan sebutir apel hanyut di sungai. Karena lapar, saya memakannya tanpa izin. Kini saya datang memohon kerelaan Tuan agar memaafkan kelalaian saya itu,” katanya.

Lelaki itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Saya hanyalah penjaga. Saya tidak punya wewenang apapun disini. Temuilah pemiliknya, ia ada di daerah fulan.” 

Mendengar penuturan dari penjaga kebun tersebut, Tsabit bergegas menuju lokasi rumah pemilik kebun. Rumahnya cukup jauh dari kebun apel yang tadi. 

Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, Tsabit akhirnya sampai di ruham si pemilik kebun. Ia pun menjelaskan maksud dan tujuannya untuk meminta kerelaan atas buah apel yang sudah terlanjur dimakan. 

Pemilik kebun menatap pemuda itu dengan heran. Dalam hati ia bergumam. 

“Berapa banyak orang yang memakan sesuatu tanpa peduli halal atau haram, tetapi anak muda ini justru datang jauh-jauh hanya untuk meminta keikhlasanku atas sebuah apel yang sudah tidak berharga.” 

Pemilik kebun itu kagum dengan kesalehan dan keimanan Tsabit. Akhirnya, ia berniat menguji Tsabit sejauh mana ia teguh dengan sikap terpujinya tersebut.  

Untuk melihat sejauh mana keteguhan hati Tsabit, ia tidak langsung mengikhlaskan. Ia justru berkata,

“Aku tidak akan menghalalkan apel itu, kecuali dengan satu syarat.” 

 

Tsabit menunduk penuh penasaran. 

“Syarat apakah itu, Tuan?” jawab Tsabit.

“Syaratku, engkau harus menikahi putriku.” kata lelaki tua pemilik kebun apel itu. 

Mendengar hal itu, Tsabit terkejut. Ia bukan siapa-siapa, hanyalah pemuda sederhana. Bagaimana mungkin ia menikahi putri seorang tuan kebun yang terhormat? 

Namun, belum ia sempat ragu lebih jauh, pemilik kebun itu menjelaskan, 

“Ketahuilah, putriku bukanlah perempuan yang seperti bayanganmu. Ia lumpuh, tuli, bisu, dan buta. Jika engkau ikhlas menikahinya, maka aku akan merelakan apel yang engkau makan.” 

Tsabit terdiam lama. Di satu sisi, ia merasa berat menerima syarat itu. Tetapi di sisi lain, ia khawatir apel yang telah masuk ke dalam perutnya menjadi haram dan merusak keberkahan hidupnya. 
Setelah merenung cukup lama, ia pun berkata dengan penuh pasrah. 

“Jika itu syaratnya, insyaAllah saya terima. Saya akan menikahi putri Tuan.” 

Hari pernikahan pun dilangsungkan. Dengan hati bergetar, Tsabit memandang wajah istrinya untuk pertama kali. Alangkah terkejutnya ia, karena ternyata perempuan yang dalam bayangannya buruk rupa itu ternyata adalah seorang gadis yang cantik jelita. Ia tidak bisu, tidak tuli, dan tidak buta seperti yang digambarkan ayahnya.

Tsabit menceritakan keheranannya kepada perempuan itu dan mengapa ayahnya berbohong mengenai dirinya. 
Ia menjawab, “Ayahku tidak berbohong. Ia mengatakan bahwa aku lumpuh karena aku tidak pernah keluar rumah. Bisu dari ucapan yang sia-sia. Tuli dari hal-hal yang diharamkan. Dan buta dari segala yang dilarang.” (Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi, Bariqah Mahmudiyah, [Mathba’ah al-Halabi, 1348 H.], juz 4, hal. 206) 

 

Tsabit pun bersyukur tiada terkira. Ia tidak pernah membayangkan sebelumnya akan mendapatkan seorang istri yang cantik paras wajah dan akhlaknya. 

Kisah apel yang memesona ini tak hanya dongeng pengantar tidur. Kisah ini mengandung pelajaran mendalam tentang arti kejujuran, amanah, dan ketakwaan. Bayangkan, seandainya Tsabit tidak peduli dengan apel itu, mungkin ia tidak akan mendapat keberkahan hidup dan keturunan seperti yang terjadi kemudian. Sikap hati-hati dalam perkara halal-haram ternyata mampu menanamkan fondasi yang kokoh, bahkan melahirkan generasi ulama besar. 

Kisah ini juga mengajarkan keikhlasan dalam menjaga diri dari hal-hal yang haram kadang dibalas Allah dengan jalan yang tak terduga. Tsabit datang hanya untuk meminta kehalalan sebuah apel, tetapi justru dipertemukan dengan jodoh salehah yang menjadi ibu dari seorang imam besar. Jalan hidup yang penuh keberkahan itu hanyalah buah dari sebuah ketakwaan kecil yang mungkin tampak sepele, namun nilainya besar di sisi Allah.

Wallahualam

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement