JAKARTA - KH Abdul Karim merupakan pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Lirboyo di Kediri, Jawa Timur. Ia merupakan sosok yang istiqomah dan disiplin dalam menjalankan ibadah.
KH Abdul Karim lahir tahun 1856 M di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah.
Sedari kecil, KH Abdul Karim giat menuntut ilmu hingga melanglang buana ke berbagai daerah. Pesantren di desa Babadan, Gurah, Kediri, jadi yang pertama disinggahi. Ia kemudian belajar ke ke daerah Cepoko, 20 km arah selatan Nganjuk, sekitar 6 tahun.
Melansir laman Lirboyo, Jumat (17/10/2025), KH Abdul Karim meneruskan ke Pesantren Trayang, Bangsri, Kertosono, Nganjuk Jatim, untuk memperdalam pengkajian ilmu Alquran.
Lalu beliau melanjutkan pengembaraan ke Pesantren Sono, sebelah timur Sidoarjo, sebuah pesantren yang terkenal dengan ilmu Shorof-nya. Di sini KH Abdul Karim menuntut ilmu selama 7 tahun.
Selanjutnya KH Abdul Karim nyantri di Ponpes Kedungdoro, Sepanjang, Surabaya. Hingga akhirnya, ia kemudian meneruskan pengembaraan ilmu di salah satu pesantren besar di pulau Madura, asuhan ulama kharismatik; Syaikhona Kholil Bangkalan. Di ponpes ini, ia menuntut ilmu selama 23 tahun.
Saat berusia 40 tahun, KH Abdul Karim meneruskan pencarian ilmu di Ponpes Tebuireng, Jombang, Jatim, yang diasuh sahabat karibnya semasa di Bangkalan Madura, KH Hasyim Asy’ari. Di sini ia menimba ilmu sekitar 5 tahun.
Hingga pada akhirnya KH Hasyim Asy’ari menjodohkan KH Abdul Karim dengan putri Kiai Sholeh dari Banjarmelati Kediri, pada 8 Safar 1328 H/ 1908 M.
KH Abdul Karim menikah dengan Siti Khodijah binti KH Sholeh (Nyai Dlomroh). Dua tahun kemudian KH Abdul Karim bersama istri tercinta hijrah ke tempat baru, di sebuah desa yang bernama Lirboyo, tahun 1910 M. Ini menjadi titik awal tumbuhnya Pondok Pesantren Lirboyo.
Kemudian pada 1913 M, KH Abdul karim mendirikan sebuah masjid di tengah-tengah komplek pondok, sebagai sarana ibadah dan sarana ta’lim wa taalum bagi santri.
Secara garis besar KH Abdul karim adalah sosok yang sederhana dan bersahaja. Beliau gemar melakukan riyadlah; mengolah jiwa atau tirakat, sehingga seakan hari-hari beliau hanya berisi pengajian dan tirakat.
Ia juga termasuk orang yang zuhud. Hal ini dilihat dari kekaguman Kiai Hasyim Asy’ari yang bertemu di Surabaya, ketika bersama-sama hendak menunaikan ibadah haji. Kiai Hasyim merasa heran, KH Abdul Karim yang kemampuan duniawinya tampak biasa, mampu melaksanakan haji. Apalagi ketika ditanya berapa uang yang dibawa? Kiai Manab hanya menjawab pendek, “Mboten ngertos.” Kiai Hasyim kemudian meminta uang Kiai Manab, nama kecilnya, untuk dihitungnya. Ternyata lebih dari cukup untuk menunaikan ibadah haji.
KH Abdul Karim adalah sosok yang sangat istiqomah dan disiplin dalam beribadah. Hal ini terbukti saat ia jatuh sakit. KH Abdul Karim masih saja istiqomah untuk memberikan pengajian dan memimpin sholat berjamaah, meski harus dipapah para santri.
Akhirnya, pada 1954, tepatnya Senin tanggal 21 Ramadhan 1374 H, KH Abdul Karim berpulang ke rahmatullah. Ia dimakamkan di belakang Masjid Lawang Songo Lirboyo.
(Erha Aprili Ramadhoni)