Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Budak yang Diangkat Anak oleh Nabi Muhammad, Jadi Panglima Perang

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Sabtu, 18 Oktober 2025 |16:02 WIB
Kisah Budak yang Diangkat Anak oleh Nabi Muhammad, Jadi Panglima Perang
Kisah Budak yang Diangkat Anak oleh Nabi Muhammad, Jadi Panglima Perang (Ilustrasi/Trendland)
A
A
A

JAKARTA - Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang budak menjadi anak angkat. Kisah ini menarik untuk diketahui karena anak angkat tersebut kelak menjadi panglima perang. 

1. Nabi Angkat Budak Jadi Anak Angkat

Anak yang dimaksud adalah Zayd bin Haritsah, yang berasal dari Yaman. Awalnya Zayd tidak terlahir sebagai budak. Ia terlahir merdeka dari dua suku Yaman yang sering berperang. 

Suatu waktu, saat kedua suku kembali bentrok, Zayd menjadi korban penculikan. Ia kemudian dijual. Zayd berpindah dari tangan ke tangan, hingga berakhir di pasar Ukkadz, salah satu pasar terbesar di Arabia kuno.

Melansir laman Muhammadiyah, Sabtu (18/10/2025), dari pasar itu, takdir membawa Zayd ke rumah seorang perempuan bangsawan Quraisy bernama Khadijah binti Khuwaylid. Saat Khadijah menikah dengan Muhammad bin Abdillah, Zayd menjadi pelayan di rumah mereka. Tanpa disadari, di rumah itu ia sedang berada di pusat perubahan terbesar dalam sejarah kemanusiaan.

Bertahun-tahun berlalu. Ayah Zayd bernama Haritsah, tidak pernah berhenti mencari anaknya. Hingga suatu hari, seorang lelaki mengenali ciri-ciri Zayd di Mekkah. Kabar itu sampai ke telinga sang ayah. Betapa senang sangat ayah, kemudian ia menempuh perjalanan panjang menuju kota itu.

Di Mekkah, Haritsah menemui Muhammad, yang saat itu belum diangkat sebagai nabi. Dengan penuh hormat ia memohon agar anaknya dikembalikan. Nabi SaAW menjawab dengan sesuatu yang tidak pernah dilakukan siapa pun pada masa itu. Ia menolak menerima tebusan dan mengatakan Zayd sendiri yang akan menentukan nasibnya.

“Saya akan membiarkan Zayd memutuskan. Jika dia memilihmu, aku akan mengembalikannya tanpa tebusan apa pun. Tetapi jika dia memilihku, maka aku tidak akan pernah bisa menolak seseorang yang telah berpaling kepadaku,” sabda Nabi SAW.

Kata-kata itu memecahkan logika zaman. Di Arab kuno, budak dianggap milik penuh tuannya. Bisa dijual, diwariskan, bahkan diperlakukan tanpa belas kasihan. Mereka tidak punya hak untuk menolak perintah, apalagi memilih nasib sendiri. Karena itu, ketika Nabi Saw mempersilakan Zayd menentukan pilihannya sendiri, masyarakat sekitarnya pasti terkejut. Seorang tuan yang menanyakan kehendak budaknya adalah tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

 

Ketika Zayd dipanggil dan diminta memilih antara ayahnya atau Muhammad, Zayd tanpa ragu memihak Muhammad. Zayd mengatakan bahwa tidak ada yang lebih ia cintai daripada orang yang telah memperlakukannya dengan kasih dan kehormatan. Ayahnya terkejut, tidak memahami mengapa seorang anak lebih memilih menjadi pelayan bagi orang asing ketimbang pulang kepada keluarga sendiri.

Setelah kejadian itu, Nabi SAW lalu mengajak Zayd ke depan Kakbah dan berkata, “Wahai penduduk Mekah, saksikanlah kalian semua bahwa mulai hari ini Zayd adalah orang merdeka, dan aku telah mengangkatnya sebagai anakku. Maka sejak saat ini, dia adalah anakku, dan dia akan mewarisiku, sebagaimana aku akan mewarisinya.” 
Sejak hari itu, orang mengenalnya sebagai Zayd bin Muhammad.

Namun, tepat 30 tahun kemudian, turun wahyu yang menegaskan setiap orang harus tetap dinisbatkan kepada ayah kandungnya. “Panggillah mereka dengan nama ayah-ayah mereka, itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (QS al-Ahzab: 5). 

Dalam sekejap, identitas Zayd yang telah terukir selama tiga dekade harus diubah. Ia kembali dengan nama Zayd bin Haritsah.

Meski tidak lagi menyandang gelar “putra Muhammad” secara hukum, kemuliaannya justru diangkat ke tingkat yang jauh lebih tinggi dan abadi. Zayd bin Haritsah adalah satu-satunya sahabat Nabi yang namanya disebut secara langsung dalam Al-Qur’an (QS Al-Ahzab: 37). Ini kehormatan yang belum pernah diberikan kepada sahabat-sahabat terkemuka lainnya, bahkan Abu Bakar dan Umar sekalipun.

Selain itu, Nabi Muhammad selalu menunjuk Zayd sebagai komandan, bahkan ketika di dalam pasukannya terdapat banyak bangsawan dan tokoh terhormat Quraisy. Zayd sering diutus dalam misi-misi berbahaya, mulai dari penyergapan kafilah Quraisy di Al-Qardah dan Al-‘Ish, hingga serangan balasan di Hisma dan Wadi al-Qura. Bekas budak yang menjadi komandan perang. Itulah revolusi paling senyap sekaligus paling dalam di ajaran Islam, saat nilai dan ketakwaan mulai menggeser keangkuhan garis keturunan.

Hingga akhirnya, pada tahun 629 M, atau Jumadilawal tahun ke-8 Hijriyah, Zayd ditunjuk menjadi panglima tertinggi dalam ekspedisi ke Mu’tah, yang letaknya di sebuah lembah dekat perbatasan Romawi. Pasukan Muslim berjumlah hanya tiga ribu orang, berhadapan dengan puluhan ribu tentara Romawi yang jauh lebih terlatih dan lengkap senjata. Di medan perang itu, Zayd akhirnya gugur sebagai syahid.

Dari seorang budak yang dijual di pasar Ukkadz, Zayd menjadi anak angkat Rasulullah, lalu tumbuh sebagai panglima dalam berbagai ekspedisi penting. Ia juga satu-satunya manusia yang disebut namanya secara langsung dalam Kitab Suci. ‘Aisyah pernah berkata, seandainya Zayd masih hidup ketika Rasulullah wafat, niscaya dialah yang akan menjadi khalifah.
 

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement