Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Apa Hukumnya Jika Istri Menolak Poligami?

Rahman Asmardika , Jurnalis-Kamis, 04 Desember 2025 |17:05 WIB
Apa Hukumnya Jika Istri Menolak Poligami?
Ilustrasi. (Foto: Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Pertanyaan mengenai hukum penolakan poligami oleh istri masih menjadi topik sensitif dalam kehidupan rumah tangga Muslim. Penting dipahami bahwa Islam memberikan kedudukan khusus bagi perempuan dalam hal ini dan memiliki panduan yang jelas berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis.

Istri yang Menolak Poligami Tidak Berdosa

Kesimpulan utama dari pandangan ulama adalah bahwa istri yang menolak dipoligami tidak berdosa. Penolakan tersebut bukan berarti menolak syariat Islam atau menentang firman Allah mengenai kebolehan poligami. Istri yang menolak justru melakukan bentuk ijtihad agar syariat dijalankan sesuai dengan ruh kasih sayang, keadilan, dan kesalingan dalam rumah tangga.

Dasar hukum ini kuat karena dalam Islam, pernikahan merupakan akad yang setara antara dua pihak yang saling sepakat, bukan suatu hal yang bersifat sepihak. Perempuan sebagai pihak yang memasuki akad memiliki hak penuh untuk menentukan syarat-syarat dalam pernikahan, termasuk syarat agar suami tidak berpoligami.

Poligami Adalah Mubah, Bukan Wajib

Pemahaman fundamental yang perlu ditegaskan adalah bahwa poligami dalam Islam berstatus mubah (diperbolehkan), bukan fardhu (wajib).

Hal ini dijelaskan dalam Surat An-Nisa ayat 3:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا

Wa in khiftum allā tuqsitū fil-yatāmā fankihū mā ṭāba lakum minan-nisā’i mathnā wa ṯulāṯa wa rubā‘a fa-in khiftum allā ta‘dilū fawāḥidatan aw mā malakat aymānukum, dhālika adnā allā ta‘ūlū. (Q.S. An-Nisa: 3)

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita lain yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (Q.S. An-Nisa: 3)

 

Syarat-Syarat Poligami yang Ketat

Islam menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat untuk praktik poligami, terutama terkait keadilan. Dalam Surat An-Nisa ayat 129, Al-Qur’an menegaskan: “Kalian takkan mampu berbuat adil di antara para istrimu sekalipun kamu sangat menginginkan.”

Keadilan dalam konteks ini bukan hanya soal pembagian materi, tetapi juga mencakup perhatian emosional, keintiman, dan keseimbangan dalam perlakuan. Jika seorang suami tidak dapat menjamin keadilan dalam aspek-aspek tersebut, maka perintah Islam adalah monogami.

Pandangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah jelas dalam hal ini: seseorang tidak dianjurkan berpoligami tanpa keperluan yang jelas, karena poligami berpotensi menjatuhkan pelakunya dalam kezaliman (ketidakadilan). Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan: “Orang yang memiliki dua istri, tetapi cenderung pada salah satunya, maka di hari Kiamat ia berjalan miring karena perutnya berat sebelah.”

Hak Istri dalam Akad Nikah

Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan sebagian Syafi’i, istri memiliki hak penuh untuk mencantumkan syarat dalam akad nikah bahwa suami tidak boleh berpoligami. Syarat semacam ini secara hukum sah dan harus dipenuhi, karena tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Jika suami melanggarnya, istri berhak mengajukan cerai atau membatalkan akad.

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan bukan pihak pasif dalam pernikahan, melainkan memiliki kontrol penuh atas relasi yang dibangun. Bahkan, dalam tataran normatif, tidak ada ketentuan yang mengharuskan istri meminta izin dari suami untuk tidak setuju dengan poligami. Keputusan tetap ada di tangan istri berdasarkan hak yang diberikan oleh syariat.

 

Penolakan Poligami dan Hak Cerai

Jika seorang istri telah menolak poligami sejak awal pernikahan atau menyadari bahwa suaminya berencana berpoligami tanpa persetujuannya, istri memiliki opsi hukum yang jelas. Al-Qur’an secara tegas memberikan jalan cerai bagi perempuan, sebagaimana tercantum dalam Surat An-Nisa ayat 130:

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِّن سَعَتِهِ ۚ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا

Wa in yatafarraqā yughnin-Allāh kullan min sa‘atihi wa kānal-Allāhu wāsi‘an ḥakīmā. (Q.S. An-Nisa: 130)

Artinya: “Dan jika keduanya (suami istri) berpisah, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing mereka dari karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. An-Nisa: 130)

Dalam konteks poligami, istri dapat mengajukan cerai melalui mekanisme khulu’ (istri membayar untuk mendapatkan cerai). Al-Qur’an bahkan menjanjikan bahwa jika perempuan memilih bercerai karena poligami, Allah akan memberikan keluasan rezeki dan kehidupan yang lebih baik.

Preseden dari Sayyidah Fatimah RA

Bukti nyata dari sunnah Nabi adalah ketika Sayyidah Fatimah, putri Nabi Muhammad SAW, menolak untuk dipoligami oleh suaminya, Ali bin Abi Talib. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Shahih Bukhari, Nabi Muhammad SAW mendukung penolakan putrinya dan melarang Ali berpoligami.

 

Pernyataan Nabi SAW bahwa “Aku tidak mengizinkan” diulang sebanyak tiga kali, menunjukkan betapa pentingnya perlindungan terhadap hak istri untuk menolak poligami. Hal ini membuktikan bahwa menolak poligami karena menyakitkan juga merupakan sunnah Nabi.

Dengan demikian, penolakan istri terhadap poligami adalah hak yang sah dalam Islam dan merupakan bagian dari upaya menjaga keharmonisan, keadilan, dan kesalingan dalam rumah tangga sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menekankan kasih sayang (mawaddah) dan rahmat (warahmah).

Wallahu a’lam

(Rahman Asmardika)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement