Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Penjelasan Fiqih Empat Mazhab tentang Shalat Ghaib untuk Korban Bencana

Rahman Asmardika , Jurnalis-Senin, 08 Desember 2025 |17:19 WIB
Penjelasan Fiqih Empat Mazhab tentang Shalat Ghaib untuk Korban Bencana
Massa Reuni 212 Sholat Gaib untuk korban bencana Sumatera (Foto: Felldy Utama/Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Bencana di Tanah Air kerap menimbulkan korban jiwa dan duka mendalam bagi seluruh masyarakat Indonesia, tak hanya di wilayah yang dilanda petaka. Sebagian masyarakat, terutama yang beragama Islam, tak hanya berduka, tetapi juga ingin mendoakan sekaligus memberi penghormatan bagi para korban yang meninggal dunia.

Salah satu bentuknya adalah shalat ghaib, yaitu shalat jenazah yang dilakukan meski jenazah tidak berada di hadapan jamaah. Namun, banyak yang tidak yakin dan bertanya: apakah shalat ghaib untuk para korban bencana sah dan disyariatkan?

Berikut penjelasan mengenai pertanyaan tersebut, melalui kacamata fiqih dari mazhab-mazhab di Indonesia, sebagaimana dilansir NU Online.

Hukum Shalat Ghaib Menurut 4 Mazhab

Secara garis besar, para ulama mazhab Syafi’i memperbolehkan pelaksanaan shalat ghaib dengan ketentuan kondisi mayat telah diyakini atau diduga kuat sudah dimandikan atau di-tayammumi.

Jika masih diragukan apakah sudah dimandikan atau belum, maka shalat ghaib dapat dilakukan dengan niat yang digantungkan, seperti niat: “Saya shalat pada mayat ini jika sudah dimandikan.” Sedangkan jika kondisi mayat diyakini atau diduga belum dimandikan, maka shalat ghaib tidak dapat dilakukan. Pendapat ini merupakan ijma’ atau kesepakatan ulama.

 

Ulama mazhab memiliki pendapat yang berbeda dalam menyikapi hukum shalat ghaib. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah, disyariatkan dan diperbolehkan untuk melaksanakan shalat ghaib. Sedangkan menurut mazhab Hanafiyah dan Malikiyah, shalat ghaib tidak diperbolehkan.

Perbedaan pendapat tersebut disampaikan oleh ulama mazhab Syafi’iyah, Syekh Yahya bin Abil Khair Al-’Imroni (w. 558 H):

وَتَجُوزُ الصَّلَاةُ عَلَى الْمَيِّتِ الْغَائِبِ عَنِ الْبَلَدِ، فَيَتَوَجَّهُ الْمُصَلِّي إِلَى الْقِبْلَةِ، وَيُصَلِّي عَلَيْهِ بِالنِّيَّةِ، سَوَاءٌ كَانَ الْمَيِّتُ فِي جِهَةِ الْقِبْلَةِ أَوْ لَمْ يَكُنْ، وَبِهِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْهِ. وَقَالَ مَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا تَجُوزُ الصَّلَاةُ عَلَى الْغَائِبِ

Artinya: “Diperbolehkan shalat atas mayit (jenazah) yang tidak berada di negeri (tempat) tersebut [gaib]. Maka, orang yang shalat menghadap ke kiblat, dan shalat atasnya dengan niat, baik mayit itu berada di arah kiblat ataupun tidak. Ini juga pendapat yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal (semoga Allah merahmatinya). Malik dan Abu Hanifah berpendapat, tidak sah/diperbolehkan shalat atas (mayat) yang gaib.” (Al-Bayan fi Madzhab al-Imam asy-Syafi'i, [Beirut: Darul Fikr, 2019], juz I, hlm. 556).

Mayat Harus Dimandikan untuk Keabsahan Shalat Ghaib

Menurut pendapat yang paling sahih (al-ashahh) dalam mazhab Syafi'i, tenggelamnya jenazah di air tidak dianggap sebagai pengganti yang sah untuk memandikan jenazah. Oleh karena itu, jika jenazah tenggelam dan tidak diangkat untuk dimandikan, shalat jenazah atasnya tidak sah.

 

Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Hadramy menjelaskan bahwa jika jenazah tidak mungkin dimandikan sama sekali, misalnya karena tubuhnya hancur atau hilang, maka shalat jenazah tidak boleh dilakukan, karena syarat penyucian (memandikan) belum terpenuhi.

لَا تَصِحُّ الصَّلَاةُ عَلَى مَنْ أُسِرَ أَوْ فُقِدَ أَوْ انْكَسَرَتْ بِهِ سَفِينَةٌ، وَإِنْ تَحَقَّقَ مَوْتُهُ أَوْ حَكَمَ بِهِ حَاكِمٌ إِلَّا إِنْ عُلِمَ غُسْلُهُ أَوْ عَلَّقَ النِّيَّةَ عَلَى غُسْلِهِ إِذِ الْأَصَحُّ أَنَّهُ لَا يَكْفِي غَرَقُهُ، وَلَا يَجُوزُ مَعَ تَعَذُّرِ الْغُسْلِ خِلَافًا لِلْأَذْرَعِيِّ وَغَيْرِهِ

Artinya: “Tidak sah salat (jenazah) atas orang yang ditawan (ditahan musuh), atau hilang (tidak diketahui keberadaannya), atau kapalnya pecah (tenggelam), meskipun kematiannya sudah dapat dipastikan atau sudah diputuskan oleh hakim. Kecuali jika diketahui ia telah dimandikan, atau ia menggantungkan niat salatnya pada pemandiannya (jika ia dimandikan), karena pendapat al-ashahh (paling kuat) adalah bahwa tenggelamnya (di air) tidaklah cukup (sebagai ganti memandikan). Dan tidak boleh (salat jenazah) ketika sulit untuk memandikan, berbeda dengan pendapat al-Adzra’i dan ulama lainnya.” (Bughyatul Mustarsyidin, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, t.t.], hlm. 119).

Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan bahwa salah satu syarat sahnya shalat jenazah adalah mayit harus disucikan terlebih dahulu, yaitu dengan cara dimandikan. Karena itu, jika memandikan mayat tidak bisa dilakukan, misalnya karena jenazah jatuh ke dalam lubang dan sulit diangkat, maka shalat jenazah tidak boleh dilakukan.

 

Beliau juga menolak pendapat Ibnu Jarir dan Asy-Sya'bi yang menyatakan bahwa shalat jenazah tetap sah meski tanpa disucikan, karena pendapat tersebut bertentangan dengan ijma‘ (kesepakatan ulama).

وَتَقَدَّمُ طُهْرِ الْمَيِّتِ كَمَا يَأْتِي، وَقَوْلُ ابْنِ جَرِيرٍ كَالشَّعْبِيِّ تَصِحُّ بِلَا طَهَارَةٍ رُدَّ بِأَنَّهُ خَارِقٌ لِلْإِجْمَاعِ وَابْنُ جَرِيرٍ وَإِنْ عُدَّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ لَا يُعَدُّ تَفَرُّدُهُ وَجْهًا لَهُمْ كَالْمُزَنِيِّ

Artinya: “Didahulukannya kesucian mayat sebagaimana penjelasan selanjutnya, dan pendapat Ibnu Jarir sama seperti pendapatnya asy-Sya'bi, yaitu bahwa shalat sah tanpa bersuci ditolak karena pendapat tersebut menentang ijma (konsensus ulama). Dan Ibnu Jarir, meskipun termasuk ulama Syafi'iyyah, pendapatnya yang menyendiri itu tidak dianggap sebagai pandangan dalam mazhab mereka, sebagaimana al-Muzani.” (Tuhfatul Muhtaj, [Beirut: Darul Kutub Al–Ilmiyah, 2001], juz I, hlm. 412).

Dengan demikian, shalat ghaib untuk korban bencana hukumnya dirinci sebagai berikut:

  1. Sah dan disunnahkan, jika diyakini atau diduga kuat para korban sudah dimandikan.
  2. Sah dengan niat digantungkan, jika masih ragu apakah sudah dimandikan atau belum, misalnya dengan niat: “Saya shalat jika jenazah ini sudah dimandikan.”
  3. Tidak sah, jika diyakini atau diduga kuat korban belum dimandikan.

Oleh karena itu, kepedulian kita kepada para korban bencana dapat diwujudkan dengan tindakan lain, seperti mendoakan dan ikut berdonasi.

Wallahu a’lam.

(Rahman Asmardika)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement