Penjelasan Lengkap Boleh Tidaknya Membayar Zakat dengan Uang

, Jurnalis
Sabtu 01 Juni 2019 01:26 WIB
Ilustrasi zakat (Foto: Thegorbalsia)
Share :

SERING dijumpai pembayaran zakat fitrah dilakukan dengan uang, bukan bahan makanan. Pembayaran dengan uang tersebut dianggap memudahkan zakatnya dibandingkan dengan makanan. Bila ditelusuri dari sejarahnya, belum ada riwayat yang menjelaskan bahwa nabi mengeluarkan zakat fitrah dengan uang. Padahal sebagaimana diketahui, uang dinar atau dirham telah dijadikan mata uang penduduk sekitar.

Apabila seseorang mengamalkan hal tersebut, untuk memudahkan penunaian zakat fitrah dan nilai gunanya, maka apakah seseorang dibolehkan mengeluarkan zakat fitrah dengan uang ataukah tidak?. Inilah subhat yang diangkat pada bagian ini. Berikut ini penjelasannya.

Pertama: sebagian ulama membolehkan zakat fitrah dengan uang.

Pendapat tersebut disampaikan oleh Abu Hanifah, ia membolehkan pembayaran zakat fitrah dengan harganya. Al Bukhari menguatkannya, zakat fitrah boleh dibayarkan dengan nilai mata uang. Beberapa ulama lain juga memiliki pendapat yang sama, seperti Umar bin Abd Azis. Harga yang dimaksud adalah harga gandum, syair atau kurma.

Pendapat ini memahami nilai fungsi zakat fitrah dan kegunaannya. Bahwa zakat fitrah yang dikeluarkan dengan uang akan lebih bermanfaat dibanding dengan makanan. Jika seseorang memberikan zakatnya dengan mata uang, maka penerima bisa menggunakannya sesuai kebutuhannya. Hal ini memudahkan pula bagi orang yang mengeluarkan zakat dan lebih mudah bagi fakir miskin untuk membelanjakannya.

Dalam surat Maryam dijelaskan,

وَمَاكَانَرَبُّكَنَسِيًّا

“dan Rabb-mu tidak pernah lupa.” (Qs. Maryam: 64)

Rasulullah SAW., bersabda,

رُوِيَأَنَّرَسُوْلَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَآلِهِوَسَلَّمَرَأَىفِيإِبِلِالصَّدَقَةِنَاقَةَكُوْمَاءٍ. فَغَضِبَعَلَىالْمُصَدِّقِ (العَامِل) وَقَالَأَلَمْأَنْهَكُمْعَنْأَخْذِكَرَائِمِأَمْوَالِالنَّاسِ؟فَقَالَ،أَخَذْتُهَابِبَعِيْرَيْنِمِنْإِبِلِالصَّدَقَةِ

“diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW., pada suatu hari pernah melihat seekor unta yang sangat bagus, berpunuk besar (al Kuma’) untuk dijadikan zakat, lalu Rasulullah memarahi petugas yang memungut zakat tersebut. Beliau bersabda, “Bukankah aku telah melarang kalian mengambil zakat dari harta mereka yang paling bagus?” Kemudian petugas pemungut zakat tadi menjawab, “Aku mengambil unta yang bagus dan berpunuk besar sebagai ganti dua unta yang harus dikeluarkan untuk zakat.”

Dalam riwayat lain,

إِرْتَجَعْتُهَا،فَسَكَتَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَآلِهِوَسَلَّمَفَأَخَذَاْلبَعِيْرَبِبَعِيْرَيْنِيَكُوْنُبِاعْتِبَارِاْلقِيْمَةِ (رواهأحمدوالبيهقي)

“Saya kemudian mengembalikan unta itu, dan Rasulullah SAW., diam. Aku mengambil satu ekor unta sebagai ganti dua ekor unta karena harganya sama.”

Hadis ini dipahami sebagai suatu kebolehan mengeluarkan zakat dengan nilainya. Perkataan “Aku mengambil unta yang bagus dan berpunuk besar sebagai ganti dua unta yang harus dikeluarkan untuk zakat.” Juga kalimat pada hadis selanjutnya, “Aku mengambil satu ekor unta sebagai ganti dua ekor unta karena harganya sama.” Merupakan ekpresi bolehnya mengeluarkan zakat melalui dua cara, yaitu (1) zakat dikeluarkan dengan nilai benda (shurah wa makna), misalnya beras, gandum, atau sejenisnya, dan (2) zakat boleh pula dikeluarkan dengan nilai benda (makna), boleh dengan uang, atau dalam bentuk lain.

Terdapat pula riwayat dari Ibnu Abu Syaibah, dari ‘Aun, ia berkata, “Aku mendengar surat Umar bin Abdul Aziz yang dibacakan pada ‘Abdi Gubernur Basyrah, bahwa gaji pegawai kantor, masing-masing dimabil setengah dirham. Imam Hasan berkata, “Tidak mengapa dikeluarkan beberapa dirham untuk zakat fitrah.”

Kedua: pendapat ulama yang mengharuskan zakat fitrah dengan jenis makanan, bukan uang. Ini merupakan pendapat tiga imam, yaitu Malik, Syafii dan Ahmad. 

Mengeluarkan zakat fitrah dengan nilai uang itu tidak boleh. Inilah pendapat tiga imam. Muhammad bin Shaleh menukil pendapat Ahmad bin Hambal dan as Syafi’i bahwa zakat fitrah itu dilakukan dengan bahan makanan pokok, bukan uang tunai. Karena as Sunah menunjukan demikian.

Ahmad pernah bertanya kepada imam Atha’ tentang masalah ini, lalu imam Atha’ berkata, “Saya khawatir kalau tidak diperbolehkan, sebab sunah Rasul telah menjelaskannya.” Lalu dikatakan kepadanya, “Bukankah Umar bin Abdul Aziz telah mengambil zakat dari harga zakat?” Atha’ menjawab, “Mereka meninggalkan ucapan Rasulullah dan mengambil pendapat seseorang?

Dalam satu riwayat yang disampaikan dari al Khudri Radhiyallahu anhu, iaberkata,

كُنَّانُخْرِجُهَاعَلَىعَهْدِالنَّبِيّصَلَّىاللهُعِلَيْهِوَسَلَّمَصَاعًامِنْطَعَامٍ،وَكَانَطَعَامَنَاالتَّمْرُوَالشَّعِيْرُوَالزَّبِيْبُوَالأَقِطُ

“Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi SAW., satu sha’ bahan makanan. Dahulu makanan kami adalah kurma, jewawut (sejenis gandum), kismid dan susu.

Hadis ini dipahami oleh ulama, bahwa zakat fitrah ditunaikan dengan bahan makanan. Hadis ini tidak menyebutkan bolehnya meng-qiyas-kan dengan nilai kurs mata uang negara. Sehingga anjuran berzakat itu dilakukan dengan bahan makanan, bukan uang. Inilah pendapat yang diambil oleh Ahmad bin Hambal dan Syafii.

Dalam kitabnya fatwa zakat, Syekh Muhammad bin Shaleh al Utsaimin menukil pendapat imam-imam, ia mengatakan bahwa Malik berkata, “Zakat fitrah hanya boleh dibayarkan dengan bahan pokok (makanan), dan tidak boleh dibayarkan dengan uang tunai.”

Ibnu Umar meriwayatkan hadis, bahwa Rasulullah SAW., bersabda,

فَرَضَرَسُوْلُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَزَكَاةَاْلفِطْرِصَاعًامِنْتَمْرٍأَوْصَاعًامِنْشَعِيْرٍعَلَىاْلعَبْدِوَاْلحُرِّوَالذَّكَرِوَاْلأُنْثَىوَالصَّغِيْرِوَاْلكَبِيْرِمِنَاْلمُسْلِمِيْنَ (رواهالبخاريومسلم)

“Rasulullah SAW., telah mewajibkan zakat fitrah, yaitu mengeluarkan satu gantang kurma, atau satu gantang syair (padi Belanda) kepada hamba, orang merdeka, laki-laki dan perempuan, kecil dan besar, dari golongan kaum muslimin. (diriwayatakan al Bukhari dan Muslim)

Rasulullah memberikan contoh pembayaran zakat fitrah dengan bahan makanan yang digunakan oleh suatu penduduk, seperti satu gantang kurma, atau satu gantang syair (padi Belanda). Dan, tidak disebutkan pembayaran zakat fitrah dengan dinar, dirham, atau jenis mata uang lainnya. Oleh karena itu, beberapa ulama memberikan penjelasan bahwa kewajiban zakat fitrah dilakukan dengan bahan makanan bukan dengan mata uang. Karena sunah rasul mengajarkan demikian.

As Syafii –dalam al Um- berpendapat lagi, berupa apapun harta zakat itu, harus dibagi berdasarkan jenis harta tersebut dan tidak boleh diganti dengan harta yang lain, serta tidak boleh dijual terlebih dahulu.

Ibnu Umar berkata, “Bahwa mengeluarkan zakat dengan harga itu bertentangan dengan hadis Rasulullah.”

Jumhur ulama menjelaskan bahwa zakat itu harus dikeluarkan dalam bentuk bendanya, tidak dalam bentuk nilai (seperti uang), karena seseungguhnya zakat itu milik Allah SWT., dan harta benda yang hendak dikeluarkan sebagai zakat merupakan sesuatu yang telah di-nash-kan oleh Allah sehingga tidak boleh diganti dengan sesuatu yang lain. Dengan kata lain, sesungguhnya zakat merupakan sebuah upaya pendekatan kepada Allah, sehingga apa yang ditetapkan oleh Allah tidak boleh diubah dan kita harus tetap mengikuti apa yang diperintahkan-Nya.

Dalam satu riwayat lain, Rasulullah pernah mengutus Muadz ke Yaman dalam misi pengambilan zakat. Beliau bersabda, 

خُذِاْلحَبَّمِنَاْلحَبِّ،وَالشَّاةَمِنَاْلغَنَمِ،وَاْلبَعِيْرَمِنَاْلإِبِلِ،وَاْلبَقَرَةَمِنَاْلبَقَرِ (رواهأبوداودوابنماجه)

“Ambillah zakat padi-padian dalam bentuk padi-padian, zakat kambing dalam bentuk kambing, zakat unta dalam bentuk unta, dan zakat sapi dalam bentuk sapi.” (diriwayatkan Abu Dawud dan IbnuMajah)

Hadis ini dipahami sebagai bentuk ketaatan kepada nilai nash. Ketaatan itu dilakukan dengan tidak mengganti zakat dengan nilai harganya (seperti dengan uang atau selainnya). Karena zakat dalam bentuk yang lain bukanlah suatu perintah. Jadi, perintah mengeluarkan zakat sesuai dengan ketentuan mengandung unsur kewajiban (al-amry aqtqdhi al-wujub). Sehingga mengeluarkan zakat dengan nilai harga dianggap menyimpang dari apa yang telah ditetapkan, sehingga tidak sah.

Berdasarkan penjelasan ini, maka disimpulkan bahwa perbedaan pendapat dikalangan ulama seputar masalah ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: pertama, kalangan ulama yang menganjurkan pembayaran zakat dengan bahan makanan, bukan nilai harga, dan kedua, pendapat yang membolehkan zakat fitrah dengan harga (Hanafi yang berpendapat demikian).

Pendapat yang paling populer (mayoritas) di kalangan ulama adalah pendapat pertama yang menyatakan bahwa zakat fitrah harus dikeluarkan dari bahan makanan pokok. Walaupun terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama seputar subhat ini. Namun, perbedaan itu hanyalah seputar furu’ (cabang hukum), bukan merupakan asal hukum. Oleh karena itu, bukan menjadi alasan satu golongan dengan yang lainnya saling cekcok lantaran perbedaan perbedaan. Bukankah perbedaan itu rahmat.

Wallahu a’lam.

Oleh: Dr. M. Masrur Huda, M.Pd.I.

(Muhammad Saifullah )

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya