Jemaah haji pada masa Hindia-Belanda
Saat Indonesia mulai dijajah Belanda, jumlah jemaah haji semakin bertambah. Pemerintah Hindia-Belanda pun ikut serta memberangkatkan jemaah haji ke Tanah Suci.
Namun saat itu Pemerintah Hindia-Belanda mengurangi jumlah kuota calon jemaah haji sebab mereka khawatir akan muncul pemberontakan. Ketika jemaah haji Indonesia berada di Makkah maka mereka akan menyadari bahwa semua manusia di hadapan Allah SWT itu sama, tidak ada lagi perbedaan warna kulit, kasta hingga jabatan.
Hal ini bisa membuat jemaah haji menyadari kalau semua manusia derajatnya sama di muka bumi. Artinya penjajah Belanda tak memiliki derajat lebih tinggi dari rakyat Indonesia. Kesadaran ini bisa menimbulkan pemberontakan terhadap Pemerintah Hindia-Belanda.
Selain itu, Belanda khawatir akan dampak politis dari ibadah haji. Sebab kepulangan orang yang telah melaksanakan haji akan mudah diterima, yakni sebagai orang suci khususnya di Jawa dan akan lebih didengarkan oleh penduduk awam.
Puluhan ribu jemaah pun diberangkatkan dengan menggunakan kapal-kapal besar. Waktu yang dibutuhkan agar sampai ke Makkah itu berbulan-bulan.
Pada saat itu Nederland, Rotterdamsche, dan Blue Funnel Line merupakan tiga perusahaan jasa pelayaran yang mengangkut jemaah haji dari Indonesia.
Kemudian setelah Indonesia merdeka, pengurusan keberangkatan haji dialihkan pada Pemerintah Indonesia, tepatnya sejak 1948 dan pemerintah pun menyiapkan kapal yang dikhususkan untuk para jemaah. Yaitu ditangani oleh PT Arafat. Namun akhirnya perusahaan tersebut tidak bertahan lama karena bangkrut, dan pemerintah menyediakan pesawat terbang pada 1966.
Puncaknya pada 1979, angkutan haji laut harus terhenti seiring dinyatakan pailitnya PT Arafat oleh Kementerian Perhubungan melalui Surat Keputusan Nomor SK-72/OT.001/Phb-79. Langkah ini ditetapkan karena kala itu PT Arafat sudah tidak dapat bersaing lagi dengan penyedia layanan berhaji menggunakan moda pesawat terbang.