JAKARTA - Imam Bukhari atau dengan nama lengkap Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari adalah ahli hadis yang termasyhur di antara para ahli hadis sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah bahkan dalam buku-buku fiqih dan hadis, hadis-hadisnya memiliki derajat yang tinggi.
Imam Bukhari lahir pada 20 Juli 810 M di Bukhara, Uzbekistan dan wafat pada 1 September 870 M di Xo'ja Ismoil, Uzbekistan
Imam Bukhari adalah salah satu manusia pilihan Allah Ta'ala dalam memelihara dan menjaga agama Islam dengan mentajdid agama-Nya dan menjaga atsar-atsar Rasul-Nya serta mengibarkan panji-panji sunah.
Di antara tokoh ternama lagi menonjol dengan khidmahnya dalam bidang ilmu hadits, yaitu Imam Bukhari. Sebuah nama yang sangat dikenal dalam sejarah Islam, terutama oleh para insan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits.
Baca Juga: SBY Bersilatuhrami kepada Pak Harto, Contoh Menghormati Pemimpin Sebelumnya
Pada masa kanak-kanak, Imam Bukhari sempat mengalami kebutaan. Pada suatu malam, sang Ibu bermimpi melihat Ibrahîm al-Khalîl Alaihissallam dan berkata kepada ibunya, “Wahai wanita, Allah telah mengembalikan penglihatan kepada anakmu karena engkau banyak menangis (banyak berdoa)”. Di pagi harinya, penglihatan putranya kembali normal.
Bentuk fisik Bukhari dijelaskan Imam Ibnu ‘Adi rahimahullah mengatakan, ‘Aku pernah mendengar Hasan bin Husain al-Bazzâz berkata, ‘Aku melihat Muhammad bin Ismail seorang yang berbadan kurus, tidak tinggi dan tidak (juga) pendek’.
Dia belajar sejak belia dengan menghafalkan al-Quran semenjak kecil juga. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan beliau Allah Azza wa Jalla mengilhamkan kepadanya saat kecil untuk menyenangi menghafal hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Baca Juga: 3 Artis Indonesia Naik Haji Diundang Raja Arab
Imam al-Bukhri rahimahullah menceritakan, “Aku diberi ilham untuk menghafal hadits sejak aku masih di madrasah. Saat itu, usiaku sekitar 10 tahun, hingga aku keluar dari madrasah itu pada usia 10 tahun. Aku mulai belajar kepada ad-Daakhili dan ulama lainnya. Suatu saat, beliau membacakan satu hadits di hadapan orang-orang (dengan sanad dari) Sufyan, dari Abu Zubair dari Ibrahim… Maka aku berkata kepadanya:
“Sesungguhnya Abu Zubair tidak meriwayatkan (hadits) dari Ibrahim”. Ia pun menghardikku. Lantas aku berkata, “Coba telitilah kembali kitab aslinya”. Ia pun memasuki rumah dan meneliti kembali, kemudian keluar dan bertanya, “Bagaimana penjelasannya wahai anak muda?”. Aku menjawab, “(Yang dimaksud) adalah Zubair bin ‘Adi dari Ibrahiim..”.
Beliau lantas mengambil penaku dan mengoreksi kitabnya, seraya berkata, “Engkau benar”. Abu ‘Abdillah juga pernah menceritakan, “Aku pernah belajar kepada para fuqaha Marw. Saat itu aku masih kanak-kanak. Jika aku datang menghadiri majlis mereka, aku malu mengucapkan salam kepada mereka. Salah seorang dari mereka bertanya kepadaku, “Berapa banyak (hadits) yang telah engkau tulis?”. Aku menjawab, “Dua (hadits)”. Orang-orang yang hadir pun tertawa.
Baca Juga: Habluminallah dan Habluminannas Dilengkapi Lagi dengan Hablum Min Al - Bi'ah, Apa Itu?
Lalu salah seorang syaikh berkata, “Janganlah kalian menertawakannya. Bisa jadi suatu saat nanti justru dia yang menertawakan kalian”. Demikianlah gambaran bakat keilmuannya telah tampak.
Pada usia 16 tahun, beliau sudah menghafal kitab karangan Imam Waki’ dan Ibnul Mubarak. Kemudian pada usia 17 tahun, beliau telah dipercaya oleh salah seorang gurunya Muhammad bin Salam al-Biikandi untuk mengoreksi karangan-karangannya.
Bersama Ibu dan saudaranya, pada usia 18 tahun, Muhammad bin Ismâ’îl pergi haji ke Makkah. Beliau tetap bertahan di kota suci itu untuk meneruskan mendalami hadits bersama para Ulama di sana, sementara keluarga beliau pulang.