Dua perincian tersebut berdasarkan referensi dalam kitab Al-Fiqh al-Manhaji berikut:
إذا وجد المرء شيئا ضائعا بمعنى اللقطة الذي عرفت ، ينظر:
فإن كان شيئا تافها: أي ليس من شأن الناس عادة - إذا فقدوه - ان يطلبوه ويبحثوا عنه ، كاللقمة والتمرة ونحو ذلك، حسب عرف كل مكان وزمان، فإن الملتقط يتملك ذلكدون ان يعرف به او يتعرف عليه
وقد دل على ذلك: حديث أنس رضى الله عنه قال: مر النبي صلى الله عليه وسلم بتمرة في الطريق، قال: "لولا أني أخاف أن تكون من الصدقة لأكلتها" . (البخاري
وإن كان شيئا ذا قيمة: أي من شان الناس أن يطلبوه إذا فقدوه ويبحثوا عنه، كان على الملتقط تعريفه
Artinya: "Ketika seseorang menemukan barang temuan maka diperinci: Jika barang temuan tersebut adalah harta yang remeh-temeh, sekiranya umumnya orang ketika kehilangan harta tersebut tidak akan mencarinya, seperti sesuap nasi, satu buah kurma dan sesamanya yang disesuaikan kebiasaan setiap tempat dan waktu, maka orang yang menemukan harta temuan sejenis ini dapat memilikinya tanpa perlu mengumumkan dan berupaya mencari tahu tentang barang temuan tersebut."
Baca juga: Jabal Qurban, Bukit Saksi Ketaatan Nabi Ibrahim dan Ismail pada Allah Ta'ala
Ketentuan demikian berdasarkan hadis riwayat sahabat Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata: "Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam lewat di jalan sembari menemukan satu buah kurma, lalu beliau bersabda: Kalau saja aku tidak khawatir kurma itu adalah harta sedekah, tentu aku akan memakannya'." (HR Bukhari)
Jika barang temuan berupa harta yang bernilai, sekiranya umumnya orang ketika kehilangan harta tersebut akan mencarinya, maka wajib bagi orang yang menemukannya untuk mengumumkan barang temuan tersebut (ke khalayak umum). (Musthafa Khin DKK, al-Fiqh al-Manhaji, Juz 7, Hal. 74)
Mengumumkan atas penemuan makanan yang bernilai dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti dengan memberi tahu orang yang berada di sekitar tempat ditemukannya makanan kalau ada makanan yang ditemukan olehnya, dengan menempelkan kertas yang berisi pemberitahuan atas ditemukannya makanan di tempat tersebut, atau cara-cara lain yang dipandang efektif dalam memberi tahu kepada khalayak umum tentang ditemukannya sebuah makanan di tempat tersebut. (Sayyid Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatiri, Syarh al-Yaqut an-Nafis, Hal. 509, Cet. Darul Minhaj)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makanan yang ditemukan di jalan raya atau di tempat fasilitas umum lainnya berstatus sebagai luqathah, sehingga hanya boleh dimakan atau diberikan kepada orang lain dengan syarat penemu makanan mengganti dengan uang seharga makanan tersebut ketika pemilik makanan telah ditemukan.
Sedangkan ketika ada indikasi pemilik makanan sudah tidak mencari dan tidak membutuhkannya lagi, karena makanan bersifat remeh-temeh, maka penemu makanan dapat langsung memiliki makanan tersebut tanpa perlu mengumumkan pada khalayak umum tentang makanan yang ditemukannya itu.
Baca juga: Dapat Hidayah, Gadis Cantik Ini Rutin Touring Motor Antarkota demi Pelajari Islam
Namun jika ternyata pemilik makanan menagihnya, meski makanan itu bersifat remeh-temeh, maka wajib bagi penemu makanan untuk mengembalikannya atau mengganti dengan nominal harga makanan yang ditemukan olehnya.
Berbeda halnya jika makanan ditemukan bukan di fasilitas umum, tapi di tempat yang dimiliki oleh seseorang seperti rumah, toko, halaman rumah, dan tempat khusus lainnya, maka dalam keadaan demikian makanan sudah bukan bagian dari luqathah. Tetapi makanan berstatus milik pemilik tempat ditemukannya makanan tersebut dan penemu makanan wajib mengembalikan atau memberi tahu kepada pemilik tempat tersebut.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)