Kisah Masjid Polandia Selalu Penuh Jamaah ketika Sholat Tarawih

Tim Okezone, Jurnalis
Selasa 02 Mei 2023 10:21 WIB
Masjid Osrodek Kultury Muzulmanskiej di Polandia. (Foto: Istimewa/Wikipedia)
Share :

RAMADHAN atau bulan puasa adalah waktu di mana umat Isam panen pahala atau kalau dalam istilah para pemain game Dota atau Mobile Legend adalah bulan farming. Hal ini mengacu pada hadits sahih riwayat Imam Muslim yang menjelaskan kalau Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam menjelaskan, jika satu kebaikan anak Adam akan dibalas dengan 10 hingga 700 kali lipat pahala, namun berbeda dengan ibadah puasa. Allah Azza wa Jalla menjanjikan balasan khusus bagi kaum Muslimin yang berpuasa karena keimanan dan ketakwaan.

Hal ini harusnya menjadi kebahagiaan bagi kita semua karena Raffi Ahmad si Sultan Andara saja kalau kasih hadiah khusus ke pegawai atau follower-nya pasti bikin kebanyakan orang ngiler, apalagi kalau yang menjanjikan hadiah adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dzat Yang Maha Kaya, di mana sudah pasti nilainya bisa berkali-kali lipat lebih menggiurkan.

Menjalankan puasa untuk pertama kalinya di Polandia membuat saya tersadar bahwa farming pahala di perantauan tidak seperti membalik telapak tangan. Populasi Muslim di negara ini terbilang sedikit, bahkan tidak mencapai 1 persen dari total populasi masyarakat secara keseluruhan, sehingga suasana puasa menjadi tidak terasa.

Tidak seperti di Indonesia, di Polandia suara adzan dari pelantang masjid tidak nyaring terdengar ketika waktu-waktu sholat. Apalagi senandung suara ngaji tadarus atau bahkan playlist lagu-lagu religi seperti Maher Zain atau Nissa Sabyan yang sering diputar oleh operator pelantang masjid menjelang buka puasa, khususnya ya masjid yang ada di kampung-kampung.

Hal ini tentu saja dikarenakan jumlah masjid di Polandia yang terbilang sangat sedikit jika dibandingkan di Tanah Air. Di Kota Warsawa khususnya tempat saya menimba ilmu saat ini, mungkin hanya ada empat masjid yang lokasinya berjauhan satu sama lain.

Vibes bulan puasa juga akan terasa kurang buat saya dan teman-teman lainnya, tipikal orang Indonesia penganut budaya ngabuburit garis keras. Kami merasa sedikit kesepian karena tidak melihat adanya barisan pedagang kue basah, aneka es, kolak, gorengan dan menu-menu street food andalan lain yang sering ditemui di hampir setiap ruas jalan di dekat rumah.

Tidak ada warung-warung tenda atau street food stall yang menjual sate, ayam bakar, bakso, lalapan atau bahkan nasi padang yang bisa dijadikan arena bukber yang tidak jarang disambi reunian bersama teman-teman sekolah.

Sebaliknya, street food di Kota Warsawa hanya bisa ditemukan di tempat-tempat tertentu dan kebanyakan makanan yang dijual adalah western dessert seperti ice cream, waffle, roti-roti, hingga minuman bersoda yang terkadang tidak cocok dengan selera. 

Terlepas dari segala perbedaan dan keterbatasan yang ada, saya merasa beruntung berkuliah di Polandia terlebih di kampus yang menyediakan tempat sholat untuk mahasiswa Muslim.

Di Collegium Civitas, manajemen kampus menyediakan prayer room di lantai 12. Ruangan ini dilengkapi dengan sajadah, tikar, bahkan tisu dan hand sanitizer.

Ini membuat kami, mahasiswa Muslim, tetap dapat sholat tepat waktu, tentu saja tidak hanya di bulan puasa, tetapi juga setiap hari sepanjang tahun.

Menjalani hari-hari di bulan puasa tidak pas rasanya jika tidak dibarengi dengan memfokuskan kegiatan ibadah kita dekat dengan masjid. Meskipun ada beberapa masjid di Kota Warsawa, saya baru berkesempatan untuk beribadah di Masjid Osrodek Kultury Muzulmanskiej (OKM).

Ini karena masjid tersebut letaknya dekat dan paling gampang dijangkau dengan angkutan umum. Mungkin masjid ini tidak sebesar kebanyakan masjid di Indonesia, tapi Alhamdulillah masjid ini tidak pernah sepi jamaah, khususnya pada bulan puasa ini.

Jamaah sholat tarawih selalu penuh sesak. Ramainya jamaah kemudian "dimanfaatkan" oleh para pencari pahala dengan menaruh kue-kue, roti, serta buah-buahan di selasar masjid yang diperuntukkan para jamaah.

Namun pengalaman bulan puasa yang paling menarik di masjid OKM bagi saya adalah ketika makan buka. Kenyataan bahwa kita makan di lantai ruang bawah tanah parkiran mobil yang dingin, seketika terasa hangat dan menyenangkan. 

Bak makan di meja makan yang terletak di ruang tengah rumah kita, rasa kebersamaan dan kesyukuran menghadirkan rasa hangat di hati dan menyingkap senyum seraya menyantap makanan yang dihidangkan. Sederhana tapi penuh kenikmatan.

Bulan puasa kali ini sungguh terasa istimewa. Kesedihan karena harus jauh dari orang-orang tersayang sedikit terbayar dari pengalaman berharga merantau di negeri elang putih. Pelajaran pertama tentu saja membangun dan memperkuat mental keislaman saya.

Menimba ilmu di tempat di mana Muslim menjadi minoritas tentu bukan alasan untuk mengendorkan ibadah dan keimanan. Dengan sedikit kemauan, kemudahan, dan kenikmatan beribadah tetap dapat saya rasakan.

Membangun kebersamaan juga salah satu pelajaran yang saya rasakan. Tidak hanya kebersamaan dengan sesama masyarakat Indonesia, tetapi juga saudara sesama Muslim. Keguyuban komunitas selalu dapat kita temui di mana saja dan kapan saja asalkan ada kemauan dalam diri kita.

Pelajaran yang terakhir dan terpenting adalah peka dalam memupuk rasa syukur. Banyaknya kuantitas bukanlah faktor penentu kebahagiaan. Senantiasa merasa dibekahi adalah hal yang paling penting dalam menjalani hidup.

Seperti bulan Puasa tahun ini. Meskipun tidak dikelilingi keluarga dan sahabat, vibes dan semangat beribadah di bulan puasa Alhamdulillah tetap bisa saya rasakan. Lalu bukankah Allah Azza wa Jalla mengingatkan kita, jika senantiasa bersyukur maka Dia, Dzat Yang Maha Kaya, akan terus mencurahkan nikmat-Nya.

Wallahu a'lam bisshawab

Penulis:

Iwa Gandiwa Dhiras

Pelajar Indonesia di Polandia 

(Hantoro)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya