Berdasarkan penjelasan arkeolog Islam Nusantara, Agus Sunyoto, gelar haji mulai muncul sejak tahun 1916. Gelar haji sebenarnya merupakan pemberian kolonial Belanda.
Pada zaman penjajahan Belanda, mereka sangat membatasi gerak-gerik Muslimin dalam berdakwah. Segala sesuatu yang berhubungan dengan penyebaran agama Islam terlebih dahulu harus mendapat izin dari pihak Pemerintah Belanda.
Belanda sangat khawatir akan menimbulkan rasa persaudaraan dan persatuan di kalangan rakyat pribumi yang berujung menimbulkan pemberontakan. Maka itu, segala jenis ibadah sangat dibatasi, termasuk ibadah haji.
Bahkan, Belanda sangat berhati-hati untuk ibadah haji, lantaran saat itu mayoritas orang yang pergi berhaji, ketika pulang kembali ke Indonesia akan melakukan perubahan.
Diketahui pada zaman pendudukan Belanda, sudah banyak pahlawan Indonesia yang menunaikan ibadah haji, di antaranya Pangeran Diponegoro, HOS Cokroaminoto, Ki Hajar Dewantara, dan masih banyak yang lainnya.
Kepulangan mereka dari menunaikan ibadah haji banyak membawa perubahan untuk Indonesia ke arah yang lebih baik.
Tentu hal seperti ini merisaukan pihak Belanda. Oleh karena itu, diberi gelar haji atau hajah sebagai upaya Belanda mengawasi dan memantau aktivitas serta gerak-gerik ulama-ulama.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintahan Belanda Staatsblad Tahun 1903. Pemerintahan Kolonial Belanda pun mengkhususkan Pulau Onrust dan Pulau Kayangan (sekarang Pulau Cipir) di Kepulauan Seribu (sekarang termasuk wilayah Provinsi DKI Jakarta) menjadi gerbang utama jalur lalu lintas perhajian di Indonesia.
Di Pulau Onrust dan Pulau Kayangan, orang-orang yang pulang dari berhaji banyak yang dikarantina. Setelah itu, baru dipulangkan ke kampung halaman masing-masing.
Maka itu, gelar haji menjadi sebagai cap yang memudahkan Pemerintah Belanda untuk mengawasi orang-orang yang dipulangkan ke kampung halaman. Mereka jadi mudah mencari orang tersebut apabila melakukan pemberontakan.
Hingga kini kebiasaan penambahan gelar H (haji) dan Hj (hajah) di depan nama orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji pada akhirnya menjadi turun-temurun dan dijadikan gelar yang memiliki nilai prestise tersendiri di kalangan masyarakat.
Wallahu a'lam bisshawab.
(Hantoro)