Optimalisasi Metode Kultural dalam Penyebaran Dakwah Islam Wali Songo

Tim Okezone, Jurnalis
Kamis 20 Juni 2024 09:38 WIB
Ilustrasi dakwah Islam oleh Wali Songo. (Foto: Istimewa/Okezone)
Share :

PERKEMBANGAN dakwah Islam sejak beberapa tahun terakhir menunjukkan geliat yang menarik untuk diperhatikan lebih lanjut. Terlebih lagi ketika media sosial menjangkau nyaris seluruh lapisan masyarakat dalam satu dasawarsa terakhir ini.

Dunia dakwah Islam pun menjadi kian semarak dengan kehadiran para penceramah agama yang populer di media massa maupun media sosial.

Ironisnya pada saat yang sama, fenomena ledakan dakwah Islam di media massa dan media sosial itu juga melahirkan sejumlah persoalan. Salah satunya adalah masifnya kemunculan model dakwah Islam yang tidak adaptif dan sensitif pada perbedaan agama, mazhab, dan aliran yang berkembang di tengah umat.

Mimbar-mimbar pengajian dan dakwah yang seharusnya berisi tuturan kata-kata bijak nan menyejukkan berubah menjadi mimbar untuk unjuk arogansi, bahkan menebar kebencian pada kelompok yang dianggap berbeda. 

Dakwah Islam yang idealnya menjadi sarana menyampaikan kebaikan, lantas berubah menjadi ajang menebar prasangka dan kebencian.

Disadari atau tidak, fenomena dakwah Islam yang menebar kebencian ini telah menyebabkan renggangnya hubungan antar-agama di Indonesia. Komunitas beragama saling bersitegang satu sama lain lantaran konten dakwah yang provokatif dan cenderung memecah belah.

Banyak juga muncul fenomena-fenomena Islam kejawen yaitu pemeluk agama Islam yang masih menganut tradisi-tradisi nenek moyang.

Fenomena ini mudah sekali dijumpai di Indonesia yang mayoritas masyarakat menganut agama Islam. Namun, hal ini menjadi suatu masalah besar karena masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menjunjung tinggi tradisi dan adat-istiadat nenek moyang dibandingkan menegakkan ajaran agama Islam sepenuhnya. 

Lalu, upaya apa yang perlu dilakukan para pendakwah untuk menaggulangi masalah-masalah tersebut?

خَطِبُوا الناس عَلَي ماَ قَدْرِ عُقُو لِهِمْ

"Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kadar keilmuannya."

Masalah-masalah yang dihadapi para pendakwah pada zaman ini sebenarnya telah memiliki solusi dari semenjak awal mula Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam diutus untuk mengajarkan agama Islam di muka bumi ini.

Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam sendiri memberikan teladan ihwal bagaimana mendakwahkan Islam. Beliau tidak hanya tampil sebagai komunikator yang mumpuni, namun juga mampu meminimalisasi gesekan sosial yang mungkin timbul karena aktivitas dakwahnya.

Metode dakwah ala Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam itu juga ditampilkan oleh sekelompok ulama penyebar Islam pertama kali di Nusantara, yakni Wali Songo. 

Membicarakan sejarah penyebaran Islam di Nusantara, utamanya di Pulau Jawa, tentu tidak bisa lepas dari peran Wali Songo di dalamnya. Selama tujuh abad lamanya, yakni dari abad VII hingga XIV Masehi, agama Islam sama sekali tidak mampu menembus wilayah Jawa.

Sebagian besar masyarakat Jawa kala itu memeluk agama Hindu, Buddha, dan agama tradisional lain. Namun, menginjak awal abad XV, hampir seluruh Pulau Jawa sudah dapat diislamkan.

Salah satu yang berperan paling signifikan ialah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Songo. Prestasi Wali Songo mengislamkan tanah Jawa kurang dari 100 tahun adalah prestasi yang patut diapresiasi.

Terlebih lagi di saat yang sama, pengislaman Tanah Jawa itu sama sekali tanpa diwarnai konflik sosial apalagi peperangan. 

Imdadun Rahmat (2017) dalam bukunya berjudul "Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional" mengklasifikasikan dakwah Wali Songo ke dalam lima pendekatan.

Pertama, pendekatan teologis, yakni penanaman nilai-nilai ketauhidan dan keislaman ke seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan ini terutama dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dan juga Sunan Ampel.

Kedua, pendekatan ilmiah, yakni penyebaran Islam secara sistematis melalui pendirian pesantren. Fungsi pesantren tidak hanya sebagai tempat pembelajaran Islam, namun juga melahirkan pendakwah yang siap menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara. Pendekatan ini terutama dipraktikkan oleh Sunan Giri.

Ketiga, pendekatan kelembagaan, yakni dakwah Islam yang menyasar pada pemerintah. Selain berdakwah langsung ke masyarakat bawah, Wali Songo juga melakukaan pendekatan struktural ke pemerintah.

Sunan Kudus misalnya, melakukan pendekatan terhadap Kasultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati di Kasultanan Cirebon. Mereka berhasil membangun pengaruh di kalangan birokrat, bangsawan dan pedagang yang memudahkan aktivitas dakwah Islam di wilayah Kasultanan tersebut.

Keempat, pendekatan sosial, yakni dakwah yang langsung menyentuh masyarakat kecil yang tinggal di perdesaan yang umumnya hidup miskin. Dakwah Islam dengan pendekatan sosial tidak hanya berfokus pada penanaman ajaran Islam, namun juga bertujuan mengangkat derajat kehidupan masyarakat.

Sunan Drajat dan Sunan Muria adalah dua tokoh yang mempraktikkan pendekatan ini. Keduanya tidak hanya mengajarkan Islam, namun juga mengajari masyarakat dalam bercocok tanam, beternak, berdagang dan aktivitas ekonomi lainnya.

Kelima, pendekatan kultural, yakni dakwah Islam yang menggunakan strategi kebudayaan. Anggota Wali Songo yang berdakwah dengan strategi kultural ini ialah Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.

Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai medium dakwahnya. Sedangkan Sunan Bonang menggunakan alat musik gamelan.

Di antara kelima pendekatan tersebut, pendekatan kultural agaknya menjadi salah satu yang paling berperan meminimalisasi gesekan sosial yang terjadi di masyarakat.

Seperti diketahui, penyebaran agama baru di komunitas yang telah memiliki agama sebelumnya jelas potensial menimbulkan konflik. Hal ini pula yang terjadi dalam konteks penyebaran Islam pertama kali di Jawa.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Jawa telah memeluk agama Hindu atau Buddha yang dalam banyak hal cenderung politeistik atau mengakui banyak dewa. Tidak mudah untuk memperkenalkan konsep teologi baru di tengah masyarakat yang telah memiliki konsep teologi dan budaya yang berbeda dan telah mapan selama beberapa abad.

Namun, alih-alih menghapus paksa konsep teologi dan budaya Jawa yang telah mapan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang justru mengapropiasinya. Keduanya menganggap budaya sebagai bagian dari masyarakat yang sulit, atau bahkan mustahil dipisahkan begitu saja. Maka, jalan terbaik adalah mengadopsi kebudayaan itu sebagai bagian dari strategi dakwah.

Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang tidak sekadar melakukan Islamisasi budaya Jawa, yakni menambahkan unsur Islam dalam tiap kesenian dan kebudayaan Jawa.

Lebih dari itu, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang juga menciptakan seni, tradisi dan budaya baru yang bernapaskan Islam untuk menggantikan seni, tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang bertentangan dengan ajaran dan nilai Islam. 

Wallahu a'lam bisshawab

Oleh:

Latifah Salsabil Nikmah

Fakultas Agama Islam - Universitas Muhammadiyah Surakarta 

(Hantoro)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya