WAKIL Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa menegaskan bahwa dalam menetapkan suatu hukum, Nahdlatul Ulama (NU) selalu mendialogkan nash dengan realitas. Praktik ini dapat ditemukan saat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam masih hidup dan berlanjut di era para sahabat serta tabiin, sehingga menjadi pijakan NU dalam bertistinbath ketika menetapkan hukum.
"Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji," kata Kiai Zulfa mengutip pandangan Imam Syathibi dalam Al-Muwafaqat, saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh, Ahad (11/8/2024).
Oleh karena itu, ia menekankan bahwa dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Alquran dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya. Karenanya, NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.
"Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya," jelas Kiai Zulfa dalam keterangan yang diterima Okezone.
Ia mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting. Menurut dia, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari. Sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram.
"Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujar ulama asal Banten itu.
Dirinya juga menegaskan bahwa kondisi sosial selalu berubah seiring perkembangan zaman. Sebab, menurutnya, mengutip ulama, 90 persen dalam penetapan fikih adalah didasarkan pada realitasnya.
Saudara dekat KH Ma'ruf Amin ini mencontohkan sejumlah tokoh yang menerapkan nash dan realitas dalam memutuskan suatu persoalan. Rasulullah Shallallahu alaihi wassallam, misalnya, yang pada akhirnya memberikan kurma untuk orang yang batal puasa karena melakukan hubungan badan dengan istrinya di siang hari.
Sebab, lanjut Kiai Zulfa, Nabi melihat realitas orang tersebut yang mengaku tidak sanggup memerdekakan budak, berpuasa 60 hari berturut-turut, membagikan makanan kepada 60 orang miskin. Bahkan ketika Nabi memberikan kurma itu untuk dibagikan kepada masyarakat miskin, ia menjawab bahwa dia orang paling miskin.
"Nabi itu fahmul waqi (memahami realitas)," kata penulis kitab Al-Fatwa wa Ma La Yanbaghi li al-Mutafaqqih Jahluhu ini.
Selain Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wassallam, Kiai Zulfa juga menyebut Siti Aisyah sebagai sosok yang menerapkan nash dan realitas dalam memutuskan sebuah hukum.
Lalu juga Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib sebagai sosok-sosok yang mengombinasi realitas dan nash dalam menetapkan hukum. Pun para ulama mujtahid mutlak.
(Hantoro)