Di sisi lain, Imam Maliki berpendapat, kambing adalah pilihan terbaik. Berikutnya adalah sapi kemudian unta. Pandangan ini didasarkan pada kebiasaan Rasulullah SAW yang lebih sering berkurban dengan kambing, yang dianggap sebagai bentuk kemudahan bagi umat. Ini karena tidak semua orang mampu membeli unta atau sapi. Kambing lebih terjangkau dan mudah didapat.
Pilihan Rasulullah untuk berkurban dengan kambing juga mencerminkan prinsip meringankan beban umat. Ini sebagaimana kambing cukup untuk mewakili kurban satu keluarga.
Meski begitu, esensi kurban tidak hanya terletak pada jenis hewan, tetapi niat dan keikhlasan. Dalam hadis dari Abu Ayyub al-Anshari, disebutkan:
كَانَ الرَّجُلُ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُضَحِّي بِالشَّاةِ عَنْهُ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ، فَيَأْكُلُونَ وَيُطْعِمُونَ، ثُمَّ تَبَاهَى النَّاسُ، فَصَارَ كَمَا تَرَى
“Dahulu di masa Nabi SAW, seorang lelaki berkurban dengan satu kambing untuk dirinya dan keluarganya. Mereka makan sembelihan tersebut dan memberi makan orang lain. Kemudian setelah itu, orang-orang mulai berbangga-bangga (dengan banyaknya hewan kurban) sebagaimana engkau lihat” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadis ini mengingatkan, kurban meskipun hanya satu kambing, telah cukup untuk sebuah keluarga, dengan pahala yang mengalir untuk anggota keluarga yang hidup maupun yang telah wafat.
Namun, hadis ini juga memperingatkan bahaya sikap membanggakan jumlah atau jenis hewan kurban. Hal ini dapat merusak keikhlasan ibadah.
(Erha Aprili Ramadhoni)