Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Guru Laskar Diponegoro dan Asal Mula Sandi Pohon Sawo Sawu Sufu Fakum

Koran SINDO , Jurnalis-Jum'at, 31 Mei 2019 |04:42 WIB
Guru Laskar Diponegoro dan Asal Mula Sandi Pohon Sawo <i>Sawu Sufu Fakum</i>
Ilustrasi Pohon Sawo (Foto: Deviantart)
A
A
A

Kelak di kemudian hari, kata Kirom, sejumlah tamu utusan Kerajaan Mataram juga melakukan kunjungan ke Kuningan Blitar. Saat menyendiri Mbah Abu Hasan melihat sebuah cahaya terang yang bergerak dari bumi menuju ke langit.

Dalam mitologi Jawa, cahaya itu disebut tejo yang dipercaya pertanda baik. Asal tejo itu kemudian dicarinya. Mbah Abu Hasan melanjutkan perjalanan hingga tiba di Kuningan yang diyakini sebagai asal tejo yang ditangkap indranya.

Sebelum didatangi Mbah Abu Hasan, Kuningan, dikenal sebagai kawasan dengan sumber air yang melimpah. Di antara belukar dan pepohonan yang rimbun banyak terdapat empang ikan, yakni kolam alam yang didiami banyak ikan mas.

Karena keasriannya, Kuningan konon juga menjadi tempat melepas penat Pangeran Aryo Blitar bersama istrinya. Bahkan, nama Kuningan diadaptasi dari kata Kaweningan. Melihat suasana alam Kuningan, Mbah Abu Hasan langsung terpikat.

Bersama rombongan langsung memutuskan menetap. “Empat tahun kemudian atau tahun 1823, Mbah Abu Hasan juga mendirikan masjid dan pondok pesantren,” papar Kirom. Beragam ukiran di masjid dan mimbar Nurul Huda ditengarai sebagai hasil karya Mbah Jipah, yakni pengikut Mbah Abu Hasan yang dikenal sebagai ahli ukir dari Jepara.

Sementara itu, tiga tahun setelah perang Jawa, yakni pada 1833, Kiai Toya, putra dari Kiai Nuriman Mlangi, yakni keturunan Raja Mataram, menyusul ke Kuningan. Kiai Toya merupakan murid Mbah Abu Hasan yang kemudian berganti nama menjadi Abu Manshur.

Selain Kiai Toya, bekas laskar Diponegoro yang lain juga banyak berdatangan. Mereka menjadikan Ponpes Kuningan sebagai jujugan pelarian. Seusai kalah dari perang Jawa, bekas laskar Diponegoro itu terus diburu.

Oleh Belanda terus dicari dan dikejar-kejar. Di situlah muncul cerita bagaimana selama pelarian berganti ganti nama dan menggunakan sandi pohon sawo kecik. Sawo ditengarai berasal dari sawu sufu fakum yang artinya luruskan baris an.

Meski kalah dan kocar-kacir, mereka terus berusaha merapatkan barisan. Sebagai ejawantah dari sawu sufu fakum, setiap rumah bekas laskar Diponegoro ditandai dengan pohon sawo. Mereka bersikukuh perang melawan penjajah harus terus dikobarkan. 

“Di ponpes pohon sawonya yang ber - usia ratusan tahun tinggal satu.. Yang dua ditebang saat perluasan masjid,” ujarnya. Kehadiran Mbah Abu Manshur membuat ponpes Kuningan atau pada 1960-an diberi nama Nurul Huda itu semakin maju.

Apalagi, tak lama kemudian Mbah Manshur diambil menjadi menantu Mbah Abu Hasan. Santri-santri berkembang pesat. Tidak hanya santri kalong, santri yang bermukim datang dari mana-mana. Selain menimba ilmu fikih, Alquran, dan hadis, santri Ponpes Kuningan terkenal memiliki olah kanuragan yang hebat.

(Muhammad Saifullah )

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement