POHON sawo lekat dengan kisah tentang para laskar Diponegoro usai perang Jawa. Belakangan terkuak makna dan asal muasal dipilihnya sandi pohon sawo sebagai penanda para laskar yang sembunyi dari kejaran pasukan Belanda.
Semuanya tak lepas dari sosok bernama Syekh Abu Hasan atau Mbah Abu Hasan yang makamnya kini berada di barat pengimaman Masjid Nurul Huda, Blitar, Jawa Timur. Dengan pengimanan berjarak paling dekat. Pusara pendiri masjid dan Pondok Pesantren Nurul Huda itu dicungkup, yakni ditempatkan secara khusus. Di cungkup itu terdapat beberapa makam lain.
Salah satunya makam Kiai Toya atau Mbah Abu Manshur. Semasa hidup sampai meninggalnya, murid kinasih yang kemudian menjadi menantu itu selalu dekat dengan Mbah Abu Hasan.
Lalu, siapa Mbah Abu Hasan yang juga dipanggil Syekh Abu Hasan itu? Siapa orang yang menandai masjid, ponpes, dan tempat tinggalnya dengan pohon sawo itu? Sebuah sandi yang berasal dari bahasa Arab sawu sufu fakum yang artinya luruskan barisan.

Pengelola Mesjid Nurul Huda, Moh Kirom Sidiq, 64, pun bercerita. Dari pernikahannya, Mbah Abu Hasan dikaruniai sembilan anak. Putra dan putri. Kirom yang memiliki empat putri dan dua cucu merupakan generasi keempat keturunan Mbah Abu Hasan.
Dari salah satu putra Mbah Abu Hasan yang menikah dengan putri Kiai Kasan Mimbar Majan Tulungagung, lahir kakek nenek dan kemudian menurunkan orang tua Kirom.
Dia mengatakan, leluhurnya (Mbah Abu Hasan) merupakan salah satu guru laskar Diponegoro. “Itu cerita yang saya ketahui dari keluarga yang ditam bah informasi dari sejarawan,” tutur Kirom.
Tidak hanya menguasai ilmu perang, Mbah Abu Hasan yang berkedudukan tinggi dalam laskar juga seorang guru agama Islam yang mumpuni. Dengan ilmu agamanya yang tinggi, prajurit-prajurit laskar Diponegoro digembleng.
Karena keluwihan yang dimiliki itu, dia ditugasi syiar Islam ke wilayah Brang Wetan atau tanah Jawa sebelah timur (Jawa Timur). Konon, tugas syiar itu datang langsung dari Pangeran Diponegoro.
Apakah tugas syiar itu terkait dengan perang Jawa yang tidak akan dimenangkan? Atau, memang ini merupakan bagian dari siasat? Kata Kirom, tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti.
Yang pasti, pada 1819, yakni empat tahun sebelum pecah perang Jawa (1825-1830), Mbah Abu Hasan bertolak ke Brang Wetan. Didampingi sejumlah penderek (pengikut) laskar Diponegoro, Mbah Abu Hasan menyusuri jalur selatan.
Mulai dari wilayah Yogyakarta long march melintasi Wonogiri hingga tiba di Ponorogo yang di era Majapahit sebagai bagian Kerajaan Wengker. Dari Ponorogo perjalanan berlanjut ke Trenggalek, Tulungagung, dan sampai di Blitar.
Kenapa Blitar jadi tujuan? Menurut Kirom, hal itu diduga terkait dengan Pangeran Aryo Blitar yang lebih dulu datang (di Blitar) sekaligus menunjukkan selain pimpinan laskar Pangeran Diponegoro, Mbah Abu Hasan, juga merupakan utusan dari Kerajaan Mataram.
Soal itu, kata dia dibuktikan dengan pusaka dwisula yang dimiliki Mbah Abu Hasan, yakni sebuah pusaka Kerajaan Mataram yang tidak diberikan kepada sembarang orang. Pemilik pusaka menunjukkan si pembawa merupakan penghulu Mataram, guru para Laskar Diponegoro.