Warga difabel tak perlu merasa khawatir jika ingin melaksanakan salat Idul Adha di Masjid Istiqlal . Sebab Masjid Istiqal berusaha memperhatikan kebutuhan mereka.
Masjid Istiqlal di Jakarta siap meningkatkan layanan keagamaan bagi jamaah, khususnya para difabel. Komitmen tersebut rencananya ditunjukkan pada gelaran shalat Idul Adha pada 11 Agustus 2019 di masjid nasional ini.
Wakil Kepala Bidang Riayah Badan Pelaksana Pengelola Masjid Istiqlal (BPPMI) Syamsuddin HA mengatakan, Masjid Istiqlal sesungguhnya sudah menyediakan sarana bagi para tunadaksa, khususnya sejak ada bantuan dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008. Sarana itu termasuk lift khusus dan tempat wudhu khusus bagi difabel.
“Namun memang peruntukkan layanan tersebut belum maksimal. Kadang tidak terpakai ketika salat Id karena Pintu ar-Rahman (untuk akses kaum difabel) seringkali diharuskan steril oleh protokol Istana karena kunjungan presiden atau wakil presiden,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Syamsuddin menjelaskan, pada 10 Dzulhijah 1440 Hijriah kali ini akses tersebut diusulkan dibuka. Tak hanya itu, Masjid Istiqlal juga akan menyediakan penerjemah dalam bahasa isyarat bagi para tunarungu untuk bisa mengakses materi khutbah.
Sebagai masjid terbesar se-Asia Tenggara, Masjid Istiqlal punya tanggung jawab memberi contoh bagi masjid-masjid lain di Indonesia.
Sementara itu, Dirjen Bimas Islam Kemenag Muhammadiyah Amin mendorong komitmen layanan bagi kaum difabel ini terealisasi dengan maksimal. Ia meminta agar tak menjadikan kendala biaya sebagai alasan karena akses beribadah secara nyaman adalah hak setiap umat, termasuk untuk mereka yang punya keterbatasan secara fisik.
“Gebrakan ini harus diviralkan biar menjadi teladan bagi masjid-masjid provinsi. Dan saya minta, ini menjadi program tahunan. Bahkan kalau bisa diteruskan tiap Jumat,” imbaunya.
Salah satu tim penulis buku 'Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas' Bahrul Fuad mengatakan, selama ini fikih menempatkan kaum difabel pada kategori orang sakit oleh karena itu mereka layak menerima rukhsah atau dispensasi dalam hal ibadah. Sebagai contoh, mereka boleh bertayamum, salat sambil duduk, tidak ikut salat Jumat.
“Masalahnya, kalau sakit hanya temporer. Sekarang sakit, besok bisa jadi sudah sembuh. Sementara kita-kita ini (kelompok difabel) permanen. Kalau rukhshah (keringanan), mau sampai kapan?” kata pria yang akrab disapa Cak Fu ini.
Menurutnya, pendekatan yang digunakan mestinya adalah kesetaraan hak. Pada kasus penyandang tunarungu, misalnya, bukan hanya soal sah atau tidak saat ia tak mampu mendengar khutbah, tapi kapan mereka dipenuhi hak-haknya untuk bisa mengakses khutbah tersebut sebagaimana umat Islam kebanyakan.
“Maka negara yang memiliki kewajiban memberi akses layanan tersebut kepada kelompok ini,” ujar Cak Fu.
(Dyah Ratna Meta Novia)