JEJAK Islam nampak jelas di daratan yang panas, Kota Djene, Mali Selatan. Di sini ada budaya “membangun” masjid dari lumpur yang bentuknya berubah setahun sekali.
Bertengger di dataran antara Sungai Niger dan Bani, Djenne yang telah dihuni sejak 250 SM, menjadikannya salah satu kota tertua di kawasan Sub-Sahara Afrika. Kota yang penuh jejak Islam ini berkembang antara abad ke-13 dan ke-18, sebagai pusat transportasi untuk komoditas seperti garam dan emas.
Saat itu Kafilah dagang datang sambil membawa cendekiawan dan penulis untuk memperkenalkan Islam. Kemudian hingga sekarang denyut kehidupan Islam terus berdetak, yang mana hal itu ditunjukkan dengan banyaknya santri membaca Alquran di jalan-jalan Djene, serta masih aktifnya masjid yang kala itu dibangun.
Masjid tersebut yakni Masjid Agung yang dirancang dari materi lumpur. Dengan tinggi hampir 20 meter dan dibangun di atas lahan sepanjang 91 meter, Masjid Agung ini diklaim sebagai bangunan terbesar di dunia yang terbuat dari lumpur.
Foto: Peter Yeung - dok BBC
Namun karena terbuat dari lumpur, tentu saja Masjid Agung ini butuh perawatan khusus, setidaknya supaya tidak runtuh ketika musim hujan tiba, yakni sekitar Juli dan Agustus.
Sebagai antisipasi, pada Apri, muslim setempat merekontruksi Masjid Agung melalui acara yang disebut Festival Crepissage (Festival memasang plester). Ketika Crepissage berlangsung selama seharian, kelompok dari setiap dusun di Djenne berlomba untuk memplester ulang masjid, dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian.
Foto; Paul De Roos - dok BBC.
Seluruh masyarakat berkontribusi dalam perayaan jejak Islam ini, di mana masing-masing kelompok melakukan tugas yang berbeda-beda.