Di TENGAH gelombang revolusi 4.0, santri harus kreatif, inovatif, dan adaptif terhadap nilai-nilai baru yang baik sekaligus teguh menjaga tradisi dan nilai-nilai lama yang baik. Demikian amanat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatu Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj dalam peringatan Hari Santri 2019.
Ia juga mengatakan santri tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai Muslim yang berakhlakul karimah, yang hormat kepada kiai dan menjanjung tinggi ajaran para leluhur, terutama metode dakwah dan pemberdayaan Walisongo. “Santri disatukan dalam asâsiyât (dasar dan prinsip perjuangan), khalfiyat (background sejarah), dan ghâyat (tujuan),” ujar Said dalam peringatan Hari Santri 2019, Senin (20/10/2019).
Ia juga mengatakan bahwa dasar perjuangan santri adalah untuk menegakkan lestarinya ajaran Islam Ahlussunnah Waljama’ah, yaitu Islam bermadzhab. Di tengah kampanye Islam anti-madzhab yang menggemakan jargon kembali kepada Al-Qur’an dan Hadis, santri dituntut untuk cerdas mengembangkan argumen Islam moderat yang relevan, kontekstual, membumi, dan kompatibel dengan semangat membangun simbiosis Islam dan kebangsaan seperti yang dicontohkan Walisongo.
“Demikian inilah yang dicontohkan Walisongo. Islam tidak diajarkan dalam bungkusnya, tetapi isinya. Bungkusnya dipertahankan dalam wadah budaya Nusantara, tetapi isinya diganti dengan ajaran Islam. Budaya dijadikan sebagai infrastruktur agama, sejauh tidak bertentangan dengan syariat. Termasuk dalam hal ini adalah bentuk negara. Bentuk negara apa pun, asal syari’at Islam dapat dijalankan masyarakat, sah dan mengikat, baik berbentuk republik, mamlakah, maupun emirat. Karena NKRI berdasarkan Pancasila telah disepakati oleh para pendiri bangsa, seluruh warga negara, termasuk santri, wajib patuh menjaga dan mempertahankan konsensus kebangsaan,” ucap Said.
Tidak hanya Pangeran Diponegoro, ada juga figur tokoh nasional yang santri, yakni Bapak Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara alias Suwardi Suryaningrat. Ia belajar ngaji Alquran kepada Sulaiman Zainuddin Kalasan-Prambanan sampai khatam. Kemudian satu lagi figur penting penggubah lagu “Syukur”, yakni Habib Husein Muthahar, Semarang.
“Jadi, yang mencipta lagu “Syukur” yang kita semua hafal dan nyanyikan adalah seorang Sayyid, cucu baginda Nabi Muhammad SAW,” ujar Said dalam amanatnya pada peringatan Hari Santri 2019.