Syekh Abul Hasan As-Syadzili yang akrab disapa Syekh Syadzili merupakan seorang ulama yang selalu mengajarkan hidup penuh syukur secara totalitas.
Syekh Syadzili pernah mengatakan kepada para muridnya sebagaimana dikutip dalam Al-Minahus Saniyyah,

“Makanlah hidangan yang paling enak, reguklah minuman yang paling nikmat dan berbaringlah di atas kasur terbaik. Kenakanlah pakaian dengan bahan yang paling lembut. Bila kamu melakukannya lalu berucap syukur, ‘alhamdulillah’ maka setiap anggota tubuhmu pun ikut menyatakan syukur.”
Syekh Syadzili mengajarkan agar para muridnya bersyukur kepada Allah SWT secara totalitas. Jangan sampai, karena mereka seumur hidup menikmati dunia apa adanya saja, ia pun bersyukur apa adanya, biasa-biasa saja, bahkan cenderung tidak ridha atas nikmat Allah tersebut alias malah kurang bersyukur.
Syekh Syadzili membandingkan misalnya, seorang yang makan roti gandum hanya dengan garam, lalu memakai pakaian berbahan karung, tidur beralaskan tanah, minum air yang tak segar, lalu berucap ‘alhamdulillah’, tapi dengan perasaan kurang ikhlas atas takdir Allah.
Dalam pandangan batinnya, perasaan itu justru lebih berdosa ketimbang dosa mereka yang sungguh-sungguh menikmati dunia. Makanya tidak masalah menikmati dunia asal dengan cara yang halal lalu bersyukur secara total kepada Allah.
Menurut Syekh Syadzili, mereka yang menikmati dunia itu sejatinya melakukan sesuatu yang memang dibolehkan (mubah). Sementara, orang yang merasa tidak sudi apalagi dongkol terhadap takdir Allah, sejatinya melakukan sikap yang dilarang oleh-Nya.
Sebagai seorang sufi, Syekh Syadzili tergolong bersikap moderat. Beliau tidak terlalu membatasi diri dalam makan dan minum. Mengenakan pakaian yang indah tiap memasuki masjid. Tidak pernah terlihat memakai baju-baju bertambalan sebagaimana yang biasa dipakai sebagian sufi lain. Bahkan sang syekh selalu mengenakan pakaian bagus.
Syekh Syadzili juga menyukai kuda, memelihara dan menungganginya. Mungkin kalau era sekarang, beliau juga akan menyukai mobil untuk dikendarainya.
Bagi beliau, rasa syukur yang setengah-setengah itu berbahaya. Sebab itu, beliau mendorong orang untuk melakukan yang mubah seperti makan, minum, tidur dan hal-hal mubah yang lainnya dengan niat mengagungkan Allah atas nikmat-Nya.
Bahkan beliau berpendapat, untuk mengagungkan Allah, seseorang perlu sesekali menikmati dunia yang mubah dengan kualitas terbaik. Dengan totalitas syukur kepada-Nya, nilai mubah pada kenikmatan dunia itu akan berubah menjadi ketaatan yang mengandung nilai dan maqam tertentu di sisi-Nya.
Namun begitu, yang disampaikan Syekh Syadzili bukan berarti menganjurkan orang untuk hidup dalam hedonisme. Melampiaskan nafsu duniawi dengan gaya hidup konsumtif.
Imam Sya’rani, seorang tokoh yang dibesarkan dalam tradisi Syadziliyah bahkan pernah menyebut bahwa meninggalkan yang mubah itu adalah jalan untuk ‘naik kelas’ secara spiritual. Jadi, yang terpenting sejatinya dalam hal ini adalah niat untuk mengubah hal mubah yang tanpa nilai, menjadi amalan bernilai.
Seperti dilansir dari website Jatman, Syekh Syadzili wafat di Humaitsara sebuah dataran tinggi di gurun Aidzab, pinggiran Mesir pada tahun 1258 dalam usia 63 tahun. Di tempat ini pulalah beliau dimakamkan.
(Dyah Ratna Meta Novia)