JAKARTA- Gelar sebutan haji, rasanya hanya ada di Indonesia saja. Pemberian gelar haji ini memang tergolong unik. Lantas siapa yang pertama kali memberikan sebutan haji bagi jamaah yang telah melaksanakan wukuf di Arafah dan kembali ke Tanah Air.
Gelar haji di luar negeri seperti di Arab Saudi dan negara muslim lainnya jarang digunakan. Ibadah haji merupakan hal yang istimewa di Indonesia. Selain butuh biaya besar, menunaikan ibadah ini butuh pengorbanan. Bahkan ada yang harus menabung dan rela menunggu bertahun-tahun baru bisa berangkat haji.
Baca Juga: Pangeran Diponegoro Sempat Menuliskan Ayat Al-Qur'an dengan Tangannya
Gelar haji beda dengan julukan 'ulama' yang merupakan bentuk jamak dari kata 'alim atau orang yang berilmu (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1996: 25). Namun, dalam perkembangannya ulama diartikan sebagai orang yang ahli dan 'alim dalam syariat Islam serta menjadi panutan di tengah masyarakat.
Di Indonesia, ulama ini mempunyai sebutan berbeda di setiap daerah, seperti Kiyai (Jawa), Ajengan (Sunda), Teungku/Tengku (Aceh), Syeikh (Sumatera Utara/Tapanuli), Buya (Minangkabau), Tuan Guru (Nusa Tenggara, Kalimantan).
Terkait gelar haji ini, Pakar Ilmu Linguistik Arab lulusan Cairo-Mesir, Ustaz Miftah el-Banjary menjelaskan, panggilan haji di Tanah Air ini dimulai sejak zaman kolonial Belanda. Secara politis di masa kolonial, ibadah haji memiliki kekuatan politis yang bisa menjadi gerakan politik yang sangat diperhitungkan oleh Belanda.
Baca Juga: Mengenal Shahabiyah Ummu Waraqah, Imam Sholat Pertama Para Muslimah
Belanda mengkhawatirkan dampak politis dari ibadah haji, karena orang-orang yang pulang dari ibadah haji diterima sebagai orang suci di Jawa. Karena itulah, para haji diyakini lebih didengar penduduk awam lainnya sehingga pemerintah Belanda membuat peraturan ketat yang berhubungan dengan ibadah Haji.
"Tahun 1859 dibuatlah peraturan baru yaitu paspor haji gratis, calon haji harus membuktikan mereka punya biaya pulang pergi dan biaya untuk keluarga yang ditinggalkan. Kemudian tahun 1889 Snouck Hurgronje datang ke Indonesia dan mengkritik tajam kebijaksanaan haji pada tahun 1859," papar Ustaz Miftah yang juga motivator dan penulis buku-buku Islami ini.