Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Pengertian Man Jadda Wa Jadda Beserta Contoh Lengkapnya

Hantoro , Jurnalis-Selasa, 16 Mei 2023 |17:16 WIB
Pengertian Man Jadda Wa Jadda Beserta Contoh Lengkapnya
Ilustrasi pengertian Man Jadda Wa Jadda beserta contoh lengkapnya. (Foto: Koran Sindo/Okezone)
A
A
A

PENGERTIAN Man Jadda Wa Jadda beserta contoh lengkapnya bisa disimak di dalam artikel kali ini. Man Jadda Wa Jada adalah sebuah kalimat yang sering didengar sampai saat ini. Kalimat berbahasa Arab ini bermakna ringkas tapi tegas yakni, "Siapa yang bersungguh-sungguh, pasti akan berhasil."

Man Jadda Wa Jada termasuk sebuah kata-kata mutiara yang sangat sederhana namun kuat yang terus menjadi spirit untuk semua sampai saat ini. Kalimat ini kerap dihubungkan dengan kegiatan sehari-hari di mana pun berada.

Dikutip dari Almanhaj.or.id, kaidah ini masuk keumuman ayat-ayat dan hadits yang menjelaskan tentang kemudahan dalam agama Islam. Masuk pula keumuman kaidah Al masyaqqah tajlibu taisir (kesulitan mendatangkan kemudahan).

Di antara dalil yang menjelaskannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al Baqarah (2):286)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, "Maksud ayat ini adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak membebani seorang pun di luar kemampuannya. Ini merupakan bentuk kelembutan, kasih sayang, dan kebaikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya."

Firman Allah Azza wa Jalla:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

"Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS Al Baqarah (2): 185) 

Demikian pula Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu:

مَا نَهَيْتُكُمْ عَنْهُ فَاجْتَنِبُوْهُ وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَافْعَلُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

"Apa-apa yang aku larang kalian darinya maka tinggalkanlah, dan apa-apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah sesuai kemampuan kalian." (HR Muslim dalam kitab Al-Fadha-il, nomor 1337)

Dalam hadits 'Imran bin Hushain:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ قَالَ : كَانَتْ بِي بَوَاسِيْرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الصَّلاَةِ ، فَقَالَ : صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

"Dari ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu, ia berkata: Aku pernah terkena penyakit bawasir, lalu aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bagaimana aku melaksanakan sholat, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka dengan berbaring'." (HR Bukhari dalam kitab Ash-Shalah nomor 1117)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, "Umat telah bersepakat bahwa orang yang tidak mampu berdiri dalam sholat fardhu, maka boleh baginya sholat dengan duduk. Tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi sholat itu, dan tidak pula berkurang pahalanya, berdasarkan khabar (dari Nabi)."

Contoh Lengkapnya 

Banyak kasus yang masuk penerapan kaidah mulia ini. Berikut ini beberapa contohnya:

Contoh 1

Seseorang tidak tahu dengan jelas mana baju yang suci dan mana yang terkena najis. Ia tidak bisa membedakannya, dan tidak ada lagi pakaian yang lain, maka yang wajib baginya adalah berusaha keras untuk mengetahui mana yang suci dan mana yang terkena najis.

Jika ia telah bersungguh-sungguh mencari tahu, sehingga ada dugaan kuat bahwa yang suci adalah yang ini (misalnya), maka ia boleh sholat dengan baju yang dipilihnya itu.

Jika diketahui setelah itu bahwa ia sholat dengan baju yang terkena najis maka tidak ada kewajiban baginya untuk mengulangi sholat, karena ia telah berusaha keras dan berusaha bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sesuai kemampuannya.

(Lihat pembahasan tentang masalah ini dalam Asy-Syarh al-Mumti’ ‘ala Zâd al-Mustaqni’, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Cetakan I, Tahun 1422 H, Dar Ibnil-Jauzi, Damam, I/ 65-66) 

Contoh 2 

Seseorang yang tidak mampu rukuk dan sujud secara sempurna ketika sholat, maka yang wajib baginya ialah mengerjakan rukuk dan sujud sesuai kemampuannya. Sehingga ketika rukuk hendaklah ia menundukkan punggungnya dalam keadaan berdiri sekedar kemampuannya.

Demikian pula ketika sujud dia pun menundukkan punggungnya sesuai kemampuannya dalam keadaan duduk. Ia tidak dibebani melebihi kemampuannya, tidak pula ada kewajiban mengganti amalan tersebut, dan amalannya tersebut tidak berkurang nilainya.

Contoh 3 

Tentang orang yang menerima amanah untuk membawa barang orang lain, seperti orang yang mendapat titipan barang (al-wadi'), orang yang menemukan barang temuan (al-multaqith), orang yang meminjam (al-musta’ir), dan semisalnya. Apabila terjadi kerusakan pada barang yang diamanahkan itu, maka dalam hal ini tidak lepas dari dua keadaan.

Pertama, si pembawa barang telah bersungguh-sungguh menjaga barang tersebut, akan tetapi karena takdir Allah barang itu rusak, bukan karena keteledorannya. Dalam kasus ini ia tidak wajib mengganti barang tersebut. Karena ia telah mengerahkan segenap upaya dan kemampuannya.

Kedua, barang itu rusak karena keteledorannya dan kurang bersungguh-sungguh dalam menjaganya. Dalam kasus ini ia wajib mengganti atau memberikan ganti rugi atas kerusakan tersebut, disebabkan kelalaiannya dalam mengerjakan kewajibannya.

Contoh 4 

Seseorang mujtahid yang berijtihad dalam suatu permasalahan agama, dan mencurahkan kemampuannya untuk mengetahui status hukum permasalahan itu, kemudian ia beramal dengan hasil ijtihadnya itu. Apabila hasil ijtihadnya itu benar maka ia mendapat dua pahala, yaitu pahala ijtihadnya dan pahala keselarasannya dengan kebenaran.

Adapun jika hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala, yaitu pahala ijtihad. Lalu amalan ibadah yang dia kerjakan berdasarkan hasil ijtihadnya itu tidak batal, meskipun hasil ijtihadnya itu tidak sesuai dengan kebenaran.

Contoh 5 

Apabila telah datang waktu sholat, sedangkan seseorang berada di suatu tempat yang ia tidak mengetahui arah kiblat. Maka yang wajib baginya adalah berusaha semaksimal mungkin untuk mengetahui arah kiblat, baik dengan bertanya, atau melihat tanda-tanda yang menunjukkan arah kiblat, atau dengan cara-cara lainnya.

Setelah berupaya dan ada dugaan kuat akan arah kiblat, maka dibolehkan baginya melaksanakan sholat menghadap ke arah tersebut. Apabila telah selesai mengerjakan sholat kemudian tampak bahwa arah yang ia pilih itu ternyata bukan arah kiblat yang benar, maka dalam kasus ini sholatnya sah, dan tidak wajib baginya untuk mengulanginya. Karena dalam keadaan tersebut ia telah mengerahkan kemampuan dan upayanya.

Sedangkan seseorang yang telah bersungguh-sungguh mengerahkan upaya dan kemampuanya maka tidak ada kewajiban mengganti. Dia dianggap mengerjakan sholat seperti orang yang mengerjakannya dengan menghadap kiblat.

Wallahu a'lam bisshawab

(Hantoro)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement