PERKEMBANGAN dakwah Islam sejak beberapa tahun terakhir menunjukkan geliat yang menarik untuk diperhatikan lebih lanjut. Terlebih lagi ketika media sosial menjangkau nyaris seluruh lapisan masyarakat dalam satu dasawarsa terakhir ini.
Dunia dakwah Islam pun menjadi kian semarak dengan kehadiran para penceramah agama yang populer di media massa maupun media sosial.
Ironisnya pada saat yang sama, fenomena ledakan dakwah Islam di media massa dan media sosial itu juga melahirkan sejumlah persoalan. Salah satunya adalah masifnya kemunculan model dakwah Islam yang tidak adaptif dan sensitif pada perbedaan agama, mazhab, dan aliran yang berkembang di tengah umat.
Mimbar-mimbar pengajian dan dakwah yang seharusnya berisi tuturan kata-kata bijak nan menyejukkan berubah menjadi mimbar untuk unjuk arogansi, bahkan menebar kebencian pada kelompok yang dianggap berbeda.
Dakwah Islam yang idealnya menjadi sarana menyampaikan kebaikan, lantas berubah menjadi ajang menebar prasangka dan kebencian.
Disadari atau tidak, fenomena dakwah Islam yang menebar kebencian ini telah menyebabkan renggangnya hubungan antar-agama di Indonesia. Komunitas beragama saling bersitegang satu sama lain lantaran konten dakwah yang provokatif dan cenderung memecah belah.
Banyak juga muncul fenomena-fenomena Islam kejawen yaitu pemeluk agama Islam yang masih menganut tradisi-tradisi nenek moyang.
Fenomena ini mudah sekali dijumpai di Indonesia yang mayoritas masyarakat menganut agama Islam. Namun, hal ini menjadi suatu masalah besar karena masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menjunjung tinggi tradisi dan adat-istiadat nenek moyang dibandingkan menegakkan ajaran agama Islam sepenuhnya.

Lalu, upaya apa yang perlu dilakukan para pendakwah untuk menaggulangi masalah-masalah tersebut?
خَطِبُوا الناس عَلَي ماَ قَدْرِ عُقُو لِهِمْ
"Berbicaralah pada manusia sesuai dengan kadar keilmuannya."
Masalah-masalah yang dihadapi para pendakwah pada zaman ini sebenarnya telah memiliki solusi dari semenjak awal mula Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wasallam diutus untuk mengajarkan agama Islam di muka bumi ini.
Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam sendiri memberikan teladan ihwal bagaimana mendakwahkan Islam. Beliau tidak hanya tampil sebagai komunikator yang mumpuni, namun juga mampu meminimalisasi gesekan sosial yang mungkin timbul karena aktivitas dakwahnya.
Metode dakwah ala Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi wasallam itu juga ditampilkan oleh sekelompok ulama penyebar Islam pertama kali di Nusantara, yakni Wali Songo.
Membicarakan sejarah penyebaran Islam di Nusantara, utamanya di Pulau Jawa, tentu tidak bisa lepas dari peran Wali Songo di dalamnya. Selama tujuh abad lamanya, yakni dari abad VII hingga XIV Masehi, agama Islam sama sekali tidak mampu menembus wilayah Jawa.
Sebagian besar masyarakat Jawa kala itu memeluk agama Hindu, Buddha, dan agama tradisional lain. Namun, menginjak awal abad XV, hampir seluruh Pulau Jawa sudah dapat diislamkan.
Salah satu yang berperan paling signifikan ialah penyebaran Islam yang dilakukan oleh Wali Songo. Prestasi Wali Songo mengislamkan tanah Jawa kurang dari 100 tahun adalah prestasi yang patut diapresiasi.
Terlebih lagi di saat yang sama, pengislaman Tanah Jawa itu sama sekali tanpa diwarnai konflik sosial apalagi peperangan.