Imdadun Rahmat (2017) dalam bukunya berjudul "Islam Indonesia, Islam Paripurna: Pergulatan Islam Pribumi dan Islam Transnasional" mengklasifikasikan dakwah Wali Songo ke dalam lima pendekatan.
Pertama, pendekatan teologis, yakni penanaman nilai-nilai ketauhidan dan keislaman ke seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan ini terutama dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dan juga Sunan Ampel.
Kedua, pendekatan ilmiah, yakni penyebaran Islam secara sistematis melalui pendirian pesantren. Fungsi pesantren tidak hanya sebagai tempat pembelajaran Islam, namun juga melahirkan pendakwah yang siap menyebarkan Islam ke seluruh Nusantara. Pendekatan ini terutama dipraktikkan oleh Sunan Giri.
Ketiga, pendekatan kelembagaan, yakni dakwah Islam yang menyasar pada pemerintah. Selain berdakwah langsung ke masyarakat bawah, Wali Songo juga melakukaan pendekatan struktural ke pemerintah.
Sunan Kudus misalnya, melakukan pendekatan terhadap Kasultanan Demak Bintoro dan Sunan Gunung Jati di Kasultanan Cirebon. Mereka berhasil membangun pengaruh di kalangan birokrat, bangsawan dan pedagang yang memudahkan aktivitas dakwah Islam di wilayah Kasultanan tersebut.
Keempat, pendekatan sosial, yakni dakwah yang langsung menyentuh masyarakat kecil yang tinggal di perdesaan yang umumnya hidup miskin. Dakwah Islam dengan pendekatan sosial tidak hanya berfokus pada penanaman ajaran Islam, namun juga bertujuan mengangkat derajat kehidupan masyarakat.
Sunan Drajat dan Sunan Muria adalah dua tokoh yang mempraktikkan pendekatan ini. Keduanya tidak hanya mengajarkan Islam, namun juga mengajari masyarakat dalam bercocok tanam, beternak, berdagang dan aktivitas ekonomi lainnya.
Kelima, pendekatan kultural, yakni dakwah Islam yang menggunakan strategi kebudayaan. Anggota Wali Songo yang berdakwah dengan strategi kultural ini ialah Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Sunan Kalijaga menggunakan wayang kulit sebagai medium dakwahnya. Sedangkan Sunan Bonang menggunakan alat musik gamelan.
Di antara kelima pendekatan tersebut, pendekatan kultural agaknya menjadi salah satu yang paling berperan meminimalisasi gesekan sosial yang terjadi di masyarakat.
Seperti diketahui, penyebaran agama baru di komunitas yang telah memiliki agama sebelumnya jelas potensial menimbulkan konflik. Hal ini pula yang terjadi dalam konteks penyebaran Islam pertama kali di Jawa.
Di sisi lain, sebagian masyarakat Jawa telah memeluk agama Hindu atau Buddha yang dalam banyak hal cenderung politeistik atau mengakui banyak dewa. Tidak mudah untuk memperkenalkan konsep teologi baru di tengah masyarakat yang telah memiliki konsep teologi dan budaya yang berbeda dan telah mapan selama beberapa abad.
Namun, alih-alih menghapus paksa konsep teologi dan budaya Jawa yang telah mapan, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang justru mengapropiasinya. Keduanya menganggap budaya sebagai bagian dari masyarakat yang sulit, atau bahkan mustahil dipisahkan begitu saja. Maka, jalan terbaik adalah mengadopsi kebudayaan itu sebagai bagian dari strategi dakwah.
Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang tidak sekadar melakukan Islamisasi budaya Jawa, yakni menambahkan unsur Islam dalam tiap kesenian dan kebudayaan Jawa.
Lebih dari itu, Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang juga menciptakan seni, tradisi dan budaya baru yang bernapaskan Islam untuk menggantikan seni, tradisi dan budaya masyarakat Jawa yang bertentangan dengan ajaran dan nilai Islam.
Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh:
Latifah Salsabil Nikmah
Fakultas Agama Islam - Universitas Muhammadiyah Surakarta
(Hantoro)