KHUTBAH Jumat tentang kemerdekaan Republik Indonesia menurut pandangan Islam dibahas dalam artikel berikut ini. Diketahui bahwa besok, Sabtu 17 Agustus 2024 Masehi, Republik Indonesia merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-79 kemerdekaan. Segenap pihak di Tanah Air pun menyambutnya dengan suka cita.
Dalam Islam, kemerdekaan juga termasuk ajaran agama. Pasalnya, setiap orang berhak merdeka dan menjaga kemerdekaan tersebut.
Berikut ini khutbah Jumat dalam rangka hari kemerdekaan Indonesia, sebagaimana disampaikan Ustadz M Syarofuddin Firdaus –dosen Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah Ciputat, dikutip dari nu.or.id:
Khutbah 1
اَلْحَمْدُ لِلّٰه الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّاللَّهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، أَمَّا بَعْدُ: فَيَا عِبَادَ اللَّهِ أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَقَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا، وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَايَحْتَسِبُ، وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Para jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puja dan puji kepada Allah yang telah memberikan banyak anugerah kepada kita, baik materi maupun imateri. Kedua, sholawat dan salam semoga senantiasa kita haturkan bagi Baginda Nabi Muhammad dan keluarga serta para sahabatnya yang telah memberikan tauladan kepada kita. Tauladan di sini bukan hanya dalam ibadah relasi antara mahluk dengan Tuhan, melainkan juga relasi antar sesama mahluk-Nya.
Dengan kata lain, takwa di tangan Nabi dan para sahabatnya tidak hanya terbatas meningkatkan ibadah personal saja, melainkan juga ibadah dan aktifitas sosial menjadi ajang untuk meningkatkan ketakwaan. Oleh karenanya, marilah kita meningkatkan ketakwaan dengan memperbaiki dan memperbagus kedua aspek ibadah tadi: personal dan sosial.
Para jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah.
Berbicara ibadah personal barangkali kita sudah maklum semua, yaitu seperti sholat dan puasa, baik yang wajib maupun yang sunnah. Level dan kualitas Nabi dan para sahabatnya dalam mengerjakan ibadah-ibadah ini tentu saja sudah tidak diragukan lagi. Ketulusan dan kekhusyukan mereka tidak bisa ditandingi oleh siapa pun dari generasi umat ini. Maka dari itu, mereka disebut sebagai generasi terbaik dalam perjalanan Islam.
Begitu juga ibadah sosial yang telah dilakukan oleh generasi tersebut dapat menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya, termasuk generasi kita hari ini. Di antara contoh yang cukup fenomenal yang dilakukan Nabi dan para sahabatnya adalah tidak melakukan balas dendam kepada kafir Quraisy pada saat penaklukan Kota Mekkah. Dalam kitab sejarahnya Imam Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihayah dikisahkan:
قَالَ: "يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ مَا تَرَوْنَ أَنِّي فَاعِلٌ فِيكُمْ؟" قَالُوا: خَيْرًا، أَخٌ كَرِيمٌ وَابْنُ أَخٍ كَرِيمٍ. قَالَ: "اذْهَبُوا فَأَنْتُمُ الطُّلَقَاءُ"
Artinya: "Nabi bersabda: 'Wahai kaum Quraisy, apa pendapat kalian yang akan aku lakukan terhadap kalian?' Mereka menjawab: 'Kebaikan wahai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia.' Nabi bersabda: 'Pergilah, kalian terbebas (dari hukuman)'."
Kita semua sudah pasti tahu bagaimana gangguan, teror, dan siksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy kepada Nabi dan para sahabatnya selama masih di Makkah. Bahkan ketika di Madinah pun, mereka tetap mengejar dan membuat sekutu dari agama lain seperti Yahudi untuk menyerang Nabi dan para sahabatnya.
Para jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah.
Namun, itu semua tidak membuat Nabi dan para sahabatnya berkeinginan untuk membalas dendam. Pada saat tragedi Fathu Makkah, Nabi justru menegaskan bahwa kaum Quraisy merdeka dan terbebas dari berbagai sanksi.
Para sahabat pun ketika mendengar pernyataan Nabi juga tidak ada yang membantahnya. Mereka langsung mematuhi Nabi, meskipun tidak sedikit dari mereka yang pastinya mempunyai rasa marah atas kelakuan kaum Quraisy.
Padahal seandainya Nabi dan para sahabatnya mau memberikan hukuman tentu tidak akan ada pihak yang berani memprotes, atau setidaknya Nabi dapat menjadikan mereka sebagai budak, sebab momen itu kekuasaan sepenuhnya berada di tangan umat Islam. Namun, Nabi hendak mengajarkan kepada umatnya bahwa masing-masing manusia memiliki hak untuk merdeka dan bebas dari hukuman.
Jamaah Sholat Jumat yang dimuliakan Allah.
Selain tragedi bersejarah tersebut, pada kesempatan lain masih banyak sabda dan sikap Rasulullah yang menunjukkan keberpihakan beliau untuk menjadi manusia merdeka. Seperti sistem perbudakan pada saat itu, Rasul malah mendorong umatnya untuk melepaskan status budak yang melekat pada diri seseorang.
Dorongan ini dapat terlihat pada ajaran-ajarannya seperti janji pahala bagi yang memerdekakan budak, memerdekakan budak sebagai denda kafarat bagi pelanggar aturan tertentu, mempermudah merdeka bagi budak mukatab (menyicil kemerdekaan), bahkan dalam riwayat Imam Muslim disebutkan:
مَنْ لَطَمَ مَمْلُوكَهُ أَوْ ضَرَبَهُ فَكَفَّارَتُهُ أَنْ يُعْتِقَهُ
Artinya: "Siapa saja yang menampar budaknya atau memukulnya maka kaffaratnya berupa memerdekakannya." (HR Muslim)
Sabda Nabi ini hendak menegaskan bahwa budak tetaplah manusia sehingga tidak boleh diperlakukan semena-mena, apalagi menyiksanya. Inilah ajaran Islam yang sejati, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Budak selaku kasta sosial yang rendah tetap harus diperlakukan dengan baik dan sopan. Maka bila bermain tangan terhadapnya sanksinya ialah melepaskan status kebudakannya.
Imam Nawawi di dalam kitabnya, Al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, mengomentari hadits ini bahwa para ulama bersepakat bahwa hukum memerdekannya tidak bersifat wajib, melainkan sunnah saja. Meski demikian, kata Imam Muslim, para ulama mengatakan berdasarkan hadis ini agar bersikap baik dan menahan diri untuk menyiksa seorang budak. Bahkan kesunnahan memerdekakan budak di sini dengan harapan sebagai penebus dosa atas kezaliman yang dilakukan sang tuan.
Artinya, melakukan penyiksaan kepada budak itu perbuatan zalim. Dan agama Islam mengajarkan agar kita menjauhi beragam perbuatan zalim. Bila menyiksa budak dikategorikan perbuatan zalim, lantas bagaimana bila dilakukan kepada orang merdeka sebagaimana perbuatan para kolonial?