JAKARTA - Allah SWT melarang umat Islam berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim, termasuk tidak boleh menghardiknya. Pasalnya, anak yatim selalu berada dalam penjagaan dan perlindungan-Nya.
Anak yatim termasuk golongan yang diutamakan Allah SWT. Allah SWT meminta umat-Nya menyayangi dan menyantuni mereka. Nabi Muhammad SAW juga meminta umat Islam memuliakan anak yatim. Bahkan, Rasul bersabra, orang-orang yang menyayangi anak yatim adalah orang yang baik budinya dan berakhlak mulia. Perkataan Rasul itu tertuang dalam hadis riwayat Ahmad dan Abu Dawud:
"Wahai Saib, perhatikanlah akhlak yang biasa kamu lakukan ketika kamu masih dalam kejahiliyahan, laksanakan pula ia dalam masa keislaman. Jamulah tamu, muliakanlah anak yatim, dan berbuat baiklah kepada tetangga.” (HR. Ahmad & Abu Dawud)
Sama seperti manusia lainnya, anak yatim memiliki sederet hak yang harus dipenuhi oleh orang dewasa di sekitarnya. Hak-hak tersebut sebagai berikut, sebagaimana dihimpun Okezone pada Jumat (11/7/2025):
Allah SWT berfirman dalam Surat Ad-Dhuha ayat 6, anak yatim berhak untuk diberikan perlindungan, layaknya Dia melindungi Nabi Muhammad SAW yang merupakan seorang yatim.
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu (Muhammad).” (QS. Ad-Dhuha: 6)
Dalam Surat Ad-Dhuha, Allah SWT berfirman tidak ada yang boleh berlaku sewenang-wenang terhadap anak-anak yatim.
“Maka terhadap seorang anak yatim piatu maka janganlah engkau berlaku sewenang-wenang” (QS. Ad-Dhuha: 9).
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang memberi makan dan minum seorang anak yatim piatu di antara kaum muslimin, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, kecuali dia melakukan satu dosa yang tidak diampuni.”
Pendidikan merupakan hak dasar bagi seluruh manusia di Bumi. Tanpa pendidikan, tantangan kehidupan akan terasa sangat sulit. Tak berbeda dengan manusia lainnya, anak-anak yatim juga berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan berkualitas. Orang-orang yang membantu anak yatim dalam memenuhi pendidikannya pun akan mendapatkan balasan surga.
Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadis yang berbunyi: ““Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini.” Kemudian beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya.”” (HR. Bukhari)
Arti harta di sini adalah harta yang ditinggalkan oleh orang tua anak yatim tersebut. Siapa dilarang untuk membelanjakan harta anak yatim di luar tujuan kemaslahatannya. Apabila ada seseorang yang memakan harta anak yatim, orang tersebut akan diganjar dosa yang sangat besar.
“Dan janganlah kamu dekati harta seorang anak yatim piatu, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.” (QS. Al-An’am: 152)
Menghardik anak yatim berarti berlaku sewenang-wenang terhadap mereka dan lalai dalam memberikan hak-hak anak yatim. Padahal, larangan berlaku sewenang-wenang terhadap anak yatim sudah dengan tegas dikatakan oleh Allah SWT dalam Alquran Surat Ad-Dhuha ayat 6. Ayat ini turun bertepatan dengan peristiwa Abu Sufyan yang berlaku tidak baik terhadap anak yatim.
Menurut kitab Asbabun Nuzul, dikisahkan Abu Sofyan rutin menyembelih seekor unta setiap minggu, lalu ia kedatangan seorang anak yatim yang meminta daging unta tersebut. Namun, bukannya memberikan daging itu, Abu Sufyan justru memukul anak yatim yang datang kepadanya dengan tongkat dan mengusirnya.
Dari ayat tersebut diketahui, arti menghardik anak yatim adalah menghalang-halangi mereka dari usahanya mendapatkan hak-haknya. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata menghardik berarti mengata-ngatai dengan kata-kata yang keras atau membentak-bentak. Di sisi lain, ada banyak makna dalam kata menghardik karena kata ini berkaitan dengan kata menjauhkan, mengabaikan, kasar, keras, dan seluruh bentuk kezaliman lain yang dialami oleh anak yatim.
Dalam Tafsir Alquran Al-Karim Juz Amma (1998), menghardik anak yatim berarti mengusir atau mengeluarkan ucapan-ucapan yang keras saat mereka datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi kebutuhannya.
Siapa pun yang menghardik anak yatim, kelak di akhirat akan menelan api di dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).” (QS. An-Nisa’: 10)
(Erha Aprili Ramadhoni)