Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Hukum Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Bukan Mahram

Erha Aprili Ramadhoni , Jurnalis-Senin, 14 Juli 2025 |15:34 WIB
Hukum Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Bukan Mahram
Hukum Jabat Tangan dengan Lawan Jenis Bukan Mahram (Ilustrasi/Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Apakah laki-laki dan perempuan bukan mahram boleh berjabat tangan? Hal ini mungkin masih menjadi pertanyaan bagi umat Islam.

Hal ini menjadi persoalan yang didiskusikan ulama. Ada yang melarang, ada yang membolehkannya. 

Melarang Jabat Tangan dengan Bukan Mahram

Sebagian ulama berpendapat, berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak diperbolehkan. Landasan utamanya adalah firman Allah dalam Alquran:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ 

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau perempuan-perempuan Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan), atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan.” (QS. an-Nur [24]: 31).

Melansir laman Muhammadiyah, ayat ini menegaskan, seorang muslimah hanya boleh menampakkan auratnya kepada mahramnya atau pihak tertentu yang disebutkan. Karena berjabat tangan melibatkan sentuhan pada telapak tangan, yang merupakan bagian tubuh yang boleh terlihat, sebagian ulama berpendapat sentuhan ini hanya diperbolehkan dengan mahram atau pihak yang disebut dalam ayat tersebut.

Hadis dari Aisyah RA juga memperkuat pendapat ini:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَايِعُ النِّسَاءَ بِالْكَلَامِ بِهَذِهِ الْآيَةِ (لَا يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا) قَالَتْ وَمَا مَسَّتْ يَدُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَ امْرَأَةٍ إِلَّا امْرَأَةً يَمْلِكُهَا 

“Nabi SAW membaiat perempuan hanya dengan lisan berdasarkan ayat ‘untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun.’ Tangan Rasulullah SAW sama sekali tidak pernah menyentuh tangan perempuan selain perempuan yang beliau miliki (istrinya).” (HR. al-Bukhari, No: 6674).

Hadis ini secara eksplisit menunjukkan, Rasulullah SAW menghindari berjabat tangan dengan perempuan yang bukan mahram, bahkan dalam konteks baiat, yang merupakan peristiwa penting. Hal ini menjadi indikasi kuat bagi sebagian ulama, berjabat tangan dengan bukan mahram tidak dianjurkan.

 

Bolehkan Jabat Tangan dengan Syarat

Namun, ada sejumlah ulama, seperti Yusuf al-Qaradhawi berpendapat larangan berjabat tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram tidak bersifat mutlak. Menurut mereka, kebolehan ini bergantung pada dua syarat utama. Syaratnya adalah tidak adanya syahwat dan potensi fitnah.

Pandangan ini didasarkan pada penafsiran yang lebih fleksibel terhadap dalil-dalil yang ada. Al-Qaradhawi merujuk pada QS An-Nur [24]: 60, yang memberikan keringanan bagi perempuan tua yang tidak lagi memiliki hasrat untuk menikah untuk menanggalkan pakaian luar mereka tanpa bermaksud memamerkan perhiasan.

Ayat ini, bersama dengan pengecualian dalam QS an-Nur [24]: 31 tentang “pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan terhadap perempuan” (ghayr uli al-irbah min ar-rijal) dan anak-anak yang belum memahami aurat, menjadi dasar bahwa interaksi dengan lawan jenis diperbolehkan jika tidak memicu syahwat atau fitnah.

Selain itu, al-Qaradhawi menyoroti riwayat lain tentang baiat Rasulullah SAW dengan perempuan, seperti yang diriwayatkan oleh Ummu ‘Athiyyah RA:

عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَرَأَ عَلَيْنَا أَنْ: لاَ يُشْرِكْنَ بِاللهِ شَيْئًا, وَنَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ، فَقَبَضَتِ امْرَأَةٌ مِنَّا يَدَهَا … 

“Nabi SAW telah membaiat kami—perempuan Anshar—dan membacakan kepada kami ‘tidak akan menyekutukan Allah dengan sesuatu pun’ dan melarang kami meratapi (mayat), lalu di antara kami ada yang mendekap (berjabat tangan) dengan kedua tangan Rasulullah…” (Mukhtasar Shahih al-Bukhari).

Riwayat ini, bersama riwayat lain dari Ibn Hibban dan ath-Thabari, menunjukkan dalam beberapa kesempatan, Rasulullah SAW melakukan jabat tangan dengan perempuan, meskipun dengan cara tertentu. Ini seperti melalui penghalang atau dengan memasukkan tangan ke dalam bejana.

Menurut Ibn Hajar, baiat Rasulullah kepada perempuan terjadi berkali-kali dengan praktik yang bervariasi, sehingga tidak semua baiat dilakukan tanpa sentuhan. Al-Qaradhawi menyimpulkan, keengganan Rasulullah untuk berjabat tangan dalam riwayat Aisyah tidak serta-merta menunjukkan keharaman, tetapi bisa diartikan sebagai tindakan kehati-hatian (ihtiyat) atau bahkan mubah.

 

Mengenai hadis yang melarang “menyentuh” perempuan non-mahram, al-Qaradhawi berpendapat, kata al-massu (menyentuh) dalam hadis tersebut bersifat zhanni ad-dilalah (multitafsir). Kata ini bisa merujuk pada hubungan seksual, sebagaimana penafsiran Ibn ‘Abbas terhadap frasa aw lāmastum an-nisā’ dalam Alquran sebagai kiasan untuk hubungan intim.

Dengan demikian, hadis tersebut tidak secara pasti melarang berjabat tangan, terutama jika dilakukan tanpa syahwat dan dalam konteks yang aman dari fitnah.

Prinsip Keseimbangan dan Kehati-hatian

Berdasarkan dalil-dalil, dapat disimpulkan, berjabat tangan dalam Islam pada dasarnya adalah perbuatan yang dianjurkan karena memiliki nilai ibadah dan mempererat ukhuwah. Namun, ketika melibatkan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, Islam mengedepankan prinsip kehati-hatian.

Larangan berjabat tangan dengan bukan mahram tidak bersifat mutlak, tetapi bertujuan mencegah syahwat terlarang dan fitnah, sebagaimana kaidah ushul fikih:

دَفْعُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ المصَالِحِ 

“Menolak kemafsadatan didahulukan atas mengambil kemaslahatan.”

Karena itu, dalam situasi berjabat tangan berpotensi menimbulkan fitnah atau syahwat, sebaiknya dihindari. Namun, dalam konteks tertentu, seperti dalam situasi yang terjamin tidak memicu fitnah, sebagian ulama memperbolehkan dengan syarat ketat. Wallahualam

(Erha Aprili Ramadhoni)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement