JAKARTA - Pada saat ini arus informasi begitu deras. Sumbernya bisa berasal dari mana saja, terutama media sosial.
Informasi-informasi yang tersebar kadang belum dapat dipastikan kebenarannya atau hoaks. Karena itu, sebagai umat Islam, harus dapat menyikapinya.
Islam sebagai agama yang syamil (menyeluruh) tidak hanya mengatur aspek ibadah, tetapi juga memberikan perhatian besar terhadap persoalan informasi.
Dalam ajarannya, umat Islam diperintahkan berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan kabar. Prinsip tabayun, yaitu meneliti kebenaran suatu informasi sebelum menyebarkannya, menjadi nilai utama untuk menjaga kebenaran dan mencegah fitnah.
Prinsip ini ditegaskan Allah SWT dalam Alquran surat Al-Hujurat ayat 6:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا ۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan (-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat: 6)
Melansir laman Muhammadiyah, Sabtu (13/9/2025), Prof Hamka dalam Tafsir Al-Azhar (2015: 417-419) menjelaskan, ayat ini merupakan peringatan tegas dari Allah SWT agar kaum beriman tidak tergesa-gesa mempercayai berita, terlebih jika datang dari orang fasik, yakni mereka yang gemar berdusta atau melakukan dosa.
Dia mengisahkan peristiwa turunnya ayat ini yang terkait al-Walid bin Uqbah. Saat itu, Nabi Muhammad SAW menugaskan al-Walid untuk memungut zakat dari Bani Musthaliq.
Namun, karena prasangka buruk dan rasa takut pribadi, al-Walid justru melaporkan kepada Nabi SAW bahwa mereka telah murtad. Rasulullah SAW hampir saja mengirim pasukan untuk menyerang, tetapi memilih melakukan penyelidikan terlebih dahulu. Hasilnya, laporan tersebut ternyata tidak benar.
Dari kisah ini, Prof Hamka menarik pelajaran penting bahwa menerima informasi tanpa tabayun dapat menimbulkan fitnah dan kezaliman.