JAKARTA - Suami menjatuhkan talak kepada istrinya ketika emosi apakah sah? Itu karena saat emosi memuncak, seseorang bisa saja kehilangan kontrol dalam lisannya. Ini termasuk dengan menjatuhkan talak.
Suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya saat emosi menimbulkan pertanyaan. Apakah talaknya sah?
Dalam kajian fiqih, ungkapan talak ada yang menggunakan bahasa jelas tanpa memerlukan penafsiran (sharih), melansir laman Kemenag, Kamis (23/10/2025). Misalnya ucapan "saya talak kamu", "kamu saya ceraikan", dan sejenisnya. Ada juga talak dengan bahasa kiasan yang masih mengandung makna lain (kinayah), misalnya "kita sudahi saja", "kamu pulang saja ke orang tuamu", dan sejenisnya.
Keabsahan talak jenis kedua ini tergantung pada niat pihak suami ketika mengucapkannya. Ketika misalnya seorang suami mengucapkan “kita sudahi saja” itu niatnya untuk mengakhiri pembicaraan, maka tidak jatuh talak. Namun, jika niatnya adalah untuk mengakhiri pernikahan, jatuhlah talaknya.
Selanjutnya, ada perbedaan pendapat ulama terkait ucapan talak seorang suami yang sedang marah atau emosi. Sebagian ulama berpendapat, talaknya orang yang sedang marah itu tetap sah dan berlaku. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syekh Zainuddin al-Malibari, salah seorang ulama mazhab Syafi’i. Ia mengungkapkan:
واتفقوا على وقوع طلاق الغضبان وإن ادعى زوال شعوره بالغضب
Artinya: “Para ulama bersepakat bahwa talak orang yang marah itu tetap jatuh, meskipun ia mengklaim bahwa kesadarannya hilang karena marah.” (Syekh Zainuddin al-Malibari, Fathul Mu‘in [Semarang, Thoha Putra: t.t], halaman 112)
Sebagian ulama lain berpendapat, talak yang dijatuhkan suami yang sedang marah atau dalam keadaan emosi yang sangat tinggi dianggap tidak sah jika tingkat kemarahannya sudah mencapai puncak. Itu karena ia tidak lagi sadar dengan ucapannya sendiri. Kondisi seperti ini disejajarkan dengan keadaan orang yang kehilangan akal, seperti orang gila atau penderita epilepsi yang sedang kambuh.
وأربع لا يقع طلاقهم: الصبي، والمجنون. وفي معناه المغمى عليه، والنائم، والمكرَه
Artinya: “Empat orang yang penyataan talaknya dianggap tidak berlaku, yaitu anak kecil, orang gila - termasuk di dalamnya adalah penderita epilepsi-, orang yang sedang tidur, dan orang yang dipaksa”. (Syekh Ibnu Qasim Al-Ghazi, Fathul Qarib al-Mujib, [Semarang, Thoha Putra: t.t] halaman 48).
Untuk mengidentifikasi tingkat kesadaran seorang suami yang mengucapkan talak saat emosi, Syekh Abdurrahman al-Jaziri dalam Kitabul Fiqhi ‘alal Madzhabil Arba’ah (Beirut, Darul Kutubil Ilmiyah: 2003), juz IV, hlm 262 membaginya menjadi tiga kelompok.
Pertama, marah tingkat awal, yaitu ketika seseorang mulai marah tetapi masih dapat mengendalikan diri dan akalnya. Dalam kondisi ini, ia masih sadar dan memahami ucapannya sendiri. Karena orang yang marah pada tingkatan ini masih berada dalam keadaan sadar dan normal, talak yang diucapkannya dianggap sah dan berlaku.
Kedua, marah tingkat puncak, yaitu ketika kemarahan telah menguasai diri seseorang sampai menghilangkan akal dan kesadarannya. Dalam kondisi ini, ia tidak sadar atau tidak memahami dengan apa yang diucapkan. Karena orang yang berada dalam kondisi ini disamakan dengan orang gila yang hilang kesadarannya, talaknya tidak sah dan tidak berlaku.
Ketiga, marah tingkat pertengahan, yaitu ketika kemarahan seseorang sudah sangat memuncak dan keluar dari kebiasaannya namun tidak sampai menghilangkan akal dan kesadarannya. Karena orang yang berada dalam kondisi ini masih memiliki kesadaran dan tidak bisa disamakan dengan orang gila, talaknya tetap sah dan berlaku menurut pendapat mayoritas ulama.
Untuk menentukan apakah suami yang menjatuhkan talak itu termasuk dalam kondisi marah tingkat awal, pertengahan, atau puncak, diperlukan penilaian yang cermat dan objektif. Penilaian ini tidak hanya berdasarkan pengakuan suami, tetapi juga memerlukan instrumen lain, seperti bukti, saksi, dan pertimbangan pihak berwenang, misalnya petugas KUA atau tokoh agama setempat.
Untuk itu, permasalahan ini sebaiknya dikonsultasikan dengan pihak tersebut agar mendapatkan keputusan yang sesuai syariat.
Wallahualam
(Erha Aprili Ramadhoni)