Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Bolehkan Mengambil Barang yang Terbawa Banjir? Ini Hukumnya dalam Islam

Rahman Asmardika , Jurnalis-Sabtu, 27 Desember 2025 |12:18 WIB
Bolehkan Mengambil Barang yang Terbawa Banjir? Ini Hukumnya dalam Islam
Ilustrasi. (Foto: Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Hujan deras dan banjir yang melanda sejumlah daerah di Indonesia kerap menimbulkan kerugian materiil. Kerusakan yang diakibatkan bahjir terkadang menghanyutkan berbagai macam barang, bahkan logistik dan berbagai benda lainnya, yang kadang ditemukan oleh orang lain.  

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting dari sudut pandang hukum Islam. Bagaimana syariat memandang tindakan memunguti barang yang hanyut akibat banjir? Apakah barang tersebut boleh diambil dan dimiliki oleh warga? Pertanyaan ini relevan karena berkaitan langsung dengan prinsip kepemilikan harta dalam fiqih, terutama dalam situasi bencana. 

Status Barang yang Terbawa Banjir dalam Fiqih   

Dilansir dari NU Online, dalam literatur fikih, harta yang terbawa arus banjir lalu terdampar di tanah seseorang dikategorikan sebagai harta hilang atau telantar (māl ḍāyi‘). Artinya, harta tersebut belum lepas dari kepemilikan pemilik aslinya, meskipun keberadaannya sementara berada di tempat orang lain. Status hukum ini telah dijelaskan dan ditegaskan oleh para ulama. 

Salah satu penjelasan tersebut disampaikan oleh Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatihiri, yang menerangkan ketentuan harta telantar dan kewajiban orang yang menemukannya menurut syariat Islam.   

ذَكَرَ الْعُلَمَاءُ فِي الْمَالِ الَّذِي يَحْمِلُهُ السَّيْلُ ثُمَّ يُلْقِيهِ بِأَرْضِ إِنْسَانٍ، قَالُوا: إِنَّهُ مَالٌ ضَائِعٌ   

Artinya, “Para ulama menyebutkan tentang harta yang dibawa arus banjir lalu dihanyutkan dan terlempar ke tanah milik seseorang. Mereka mengatakan, harta tersebut termasuk harta yang telantar’.” (Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syatihiri, Syarhul Yaqutin Nafis, [Lebanon: Darul Minhaj, 2011 M], halaman 506). 

Harta yang telantar atau tidak diketahui pemiliknya bukan berarti boleh langsung dimiliki. Dalam pandangan Islam, harta semacam ini tetap terikat dengan hak pemilik aslinya, meskipun keberadaannya tidak diketahui. Karena itu, sikap yang benar bukanlah mengambilnya untuk dimiliki, melainkan menjaganya dengan aman sampai jelas siapa pemiliknya. 

 

Prinsip ini ditegaskan oleh Imam an-Damiri dalam kitab an-Najmul Wahhaj, jika seseorang tiba-tiba mendapatkan barang, misalnya pakaian yang terbawa angin, kantong yang dilempar oleh orang yang melarikan diri, atau barang titipan dari orang yang telah meninggal dunia sementara pemiliknya tidak diketahui, maka barang tersebut dihukumi sebagai harta hilang. 

Statusnya jelas: wajib dijaga dan tidak boleh dimiliki. Artinya, Islam sangat menjaga hak kepemilikan dan tidak membenarkan penguasaan harta orang lain hanya karena pemiliknya belum diketahui.

Simak penjelasan Imam an-Damiri dalam kitab an-Najmul Wahhaj:   

إِذَا أَلْقَتِ الرِّيحُ ثَوْبًا فِي حِجْرِهِ، أَوْ أَلْقَى إِلَيْهِ هَارِبٌ كِيسًا وَلَمْ يَعْرِفْ مَنْ هُوَ، أَوْ مَاتَ مُوَرِّثُهُ عَنْ وَدَائِعَ وَهُوَ لَا يَعْرِفُ مُلَّاكَهَا، فَهُوَ ضَائِعٌ يُحْفَظُ وَلَا يُتَمَلَّكُ. 

Artinya, “Jika angin melemparkan sebuah pakaian ke pangkuannya, atau seseorang yang melarikan diri melemparkan kepadanya sebuah kantong sementara ia tidak mengetahui siapa orang itu, atau orang yang mewarisinya meninggal dunia dengan meninggalkan barang titipan dan ia tidak mengetahui siapa pemiliknya. Maka barang tersebut termasuk harta yang hilang. Barang itu wajib dijaga dan tidak boleh dimiliki.” (ad-Damiri, an-Najmul Wahhaj, [Jeddah, Darul Minhaj: 2004], jilid VI, halaman 8)   

Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa barang yang hanyut akibat banjir tetap menjadi milik pemilik asalnya. Barang tersebut tidak berubah status hanya karena terbawa arus atau berpindah tempat. Karena itu, orang yang menemukannya tidak berhak mengambil atau menguasainya, melainkan berkewajiban menjaganya agar tidak rusak atau hilang lebih jauh.   

 

Jika pemilik barang tersebut diketahui, maka kewajiban berikutnya adalah mengembalikannya kepada pemiliknya. Dalam konteks ini, barang-barang logistik yang hanyut dari gudang supermarket akibat banjir tetap berstatus sebagai milik pemilik usaha tersebut. Barang-barang itu tidak boleh diambil atau dimanfaatkan oleh pihak lain. 

Siapa pun yang menemukannya memiliki tanggung jawab untuk mengamankan dan mengembalikannya kepada pemiliknya. Ketentuan ini ditegaskan oleh Imam al-‘Imrani:  

لَوْ أَطَارَتِ الرِّيحُ ثَوْبًا إِلَى بَيْتِهِ، وَعَرَفَ مَالِكَهُ، فَإِنَّ عَلَيْهِ رَدَّهُ إِلَيْهِ   

Artinya, “Jika angin menerbangkan sebuah pakaian ke rumahnya dan ia mengetahui siapa pemiliknya, maka ia wajib mengembalikannya kepada pemilik tersebut.” (al-‘Imrani, al-Bayan, [Jeddah, Darul Minhaj: 2000], jilid VII, halaman 348)   

Larangan mengambil barang-barang logistik yang hanyut akibat banjir merupakan bentuk perlindungan terhadap hak pemilik asalnya. Barang tersebut tetap berada dalam kepemilikan pemilik semula dan tidak berubah status hanya karena berpindah tempat akibat bencana.

Pengambilan barang tanpa kerelaan pemiliknya termasuk perbuatan yang dilarang dalam Islam serta tidak bermoral dalam situasi bencana. Tindakan tersebut masuk kategori memanfaatkan harta orang lain secara tidak sah. Larangan ini ditegaskan secara jelas dalam firman Allah swt:  

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ   

Artinya, “Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil” (QS. Al-Baqarah:188) 

Dalam konteks banjir, sering muncul alasan darurat. Alasan ini perlu dibedakan. Jika seseorang berada dalam kondisi terancam nyawa dan tidak ada pilihan lain, maka fiqih memberi keringanan untuk mengambil harta orang lain sebatas agar tidak kehilangan nyawa. Di luar kondisi tersebut, pengambilan harta orang lain tetap tidak diperbolehkan.

 

Dalam hal ini Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan: 

وَلَوْ وَجَدَ) مُضْطَرٌّ (طَعَامَ غَائِبٍ) وَلَمْ يَجِدْ غَيْرَهُ (أَكَلَ) وُجُوبًا مِنْهُ مَا يَسُدُّ رَمَقَهُ فَقَطْ أَوْ مَا يُشْبِعُهُ بِشَرْطِهِ وَإِنْ كَانَ مُعْسِرًا لِلضَّرُورَةِ وَلِأَنَّ الذِّمَمَ تَقُومُ مَقَامَ الْأَعْيَانِ (وَغَرِمَ) 

Artinya; "Jika orang yang dalam keadaan darurat menemukan makanan milik orang yang tidak ada di tempat dan ia tidak menemukan selain itu, maka ia wajib memakannya. Ia makan sekadar untuk menahan hidup saja. Atau sampai kenyang dengan syaratnya, meski tidak mampu membayar saat itu karena darurat, dan karena tanggungan menempati kedudukan benda, lalu wajib mengantinya," (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Mesir, Maktabah Tijariyah: 1983], jilid IX, halaman 393)  

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa barang yang hanyut tetap menjadi milik pemilik asalnya. Karena itu, tindakan memunguti dan memanfaatkan barang yang hanyut tanpa izin pemiliknya tidak dibenarkan. Kewajiban orang yang menemukannya adalah menjaga dan mengembalikan, bukan menguasai. 

Wallahu a’lam
 

(Rahman Asmardika)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita muslim lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement