Melihat Pusat Karantina Haji di Pulau Rubiah ketika Zaman Hindia Belanda

, Jurnalis
Jum'at 29 Mei 2020 16:31 WIB
Pusat karantina jamaah haji di Pulau Rubiah, Kota Sabang, Aceh. (Foto: Kemenag)
Share :

DI Kota Sabang, Provinsi Aceh, terdapat gedung pusat karantina haji. Lokasinya terletak di tengah Pulau Rubiah, Sabang. Jaraknya sekira 150 meter dari Dermaga Pulau Rubiah.

Mengutip dari haji.kemenag.go.id, Jumat (29/5/2020), pada masa awal pembangunannya ada beberapa gedung yang didirikan di atas lahan seluas 10 hektare pada pulau tersebut. Namun kini hanya tersisa dua bangunan tua dan tampak sudah tidak terawat. Sedangkan bangunan lainnya telah lapuk dimakan usia serta melewati berbagai fenomena.

Walaupun sudah tidak terawat, bangunan tua tersebut masih menyimpan sejumlah bukti sejarah tentang perhajian dan penerapan karantina di Indonesia pada zaman Hindia Belanda.

Oleh karena itu, karantina haji bukan istilah baru di Tanah Air. Ketika masa Hindia Belanda, jamaah haji yang akan berangkat dan pulang dari Makkah bakal menetap terlebih dahulu di pusat karantina selama 1 bulan.

Berdasarkan berbagai rujukan, ada dua lokasi karantina haji ketika masa itu, yaitu di Pulau Rubiah dan Pulau Onrust di Kepulauan Seribu yang saat ini masuk wilayah Provinsi DKI Jakarta.

Pulau Rubiah menjadi pusat karantina bagi jamaah haji Aceh dan daerah lainnya di Pulau Sumatera. Sedangkan pusat karantina di Pulau Onrust menampung jamaah haji di Pulau Jawa.

Pusat karantina haji Pulau Rubiah merupakan tempat karantina haji pertama di Indonesia dan termewah pada masanya. Bangunan haji di ujung barat Indonesia itu telah berdiri sejak masa kolonial pada 1920.

Pertengahan 2019, Tim Kementerian Agama Aceh berkesempatan melakukan observasi pusat karantina haji di Pulau Rubiah. Dalam kunjungannya, tim menemukan gedung tersebut sudah tidak terawat dan telah ditumbuhi ilalang di sekitarnya.

Salah satu narasumber yang ditemui, Teuku Yahya, salah satu keturunan pemilik sebagian tanah di Pulau Rubiah, menceritakan awalnya gedung karantina haji yang dibangun pada zaman kolonial itu menyediakan berbagai fasilitas lengkap seperti penginapan, rumah sakit, laundri, kamar mandi, dan listrik.

Saat itu, kata Yahya, gedung karantina haji juga merupakan tempat transit bagi jamaah haji yang akan berangkat ke Tanah Suci melalui jalur laut. Para jamaah terlebih dulu menginap di Pulau Rubiah, baru nantinya diantar dengan menuju kapal yang besar.

"Gedung karantina haji ini dibangun memadati lebih dari setengah Pulau Rubiah, tersedia rumah sakit dan fasilitas laundry juga tersedia dalam gedung tersebut," katanya.

"Proses pemberangkatan jamaah haji, setelah masuk karantina lebih kurang 1 sampai 2 bulan sebelum keberangkatan dan kegiatan yang dilakukan dalam masa-masa karantina antara lain, manasik haji dan pemeriksaan kesehatan," paparnya.

Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman, mengatakan Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.

Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.

"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antarnegara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," kata Albina saat ditemui Tim Kemenag Aceh pada 2019.

Karantina yang diterapkan selama 40 hari jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah virus corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.

"Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang," kata Albina.

Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.

Baru pada 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.

"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan," ujarnya.

Sejak saat itu Pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun, Kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke Tanah Suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji.

(Hantoro)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Muslim lainnya