Pendiri Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman, mengatakan Pemerintah Kolonial Belanda mendirikan pusat karantina haji untuk kepentingan ekonomi dan politik. Gedung karantina haji dibangun untuk menarik simpati masyarakat Aceh.
Ia menuturkan, Belanda tidak mau ambil pusing, seluruh jamaah haji yang baru pulang diwajibkan karantina hingga ditetapkan statusnya terbebas dari wabah penyakit.
"Dulu belum ada vaksin seperti sekarang. Jadi orang yang pulang antarnegara itu (dianggap) bawa pulang penyakit. Jadi harus dikarantina dan itu wajib," kata Albina saat ditemui Tim Kemenag Aceh pada 2019.
Karantina yang diterapkan selama 40 hari jauh lebih lama dari proses karantina yang diterapkan selama wabah virus corona yang telah menyerang hampir seluruh negara di dunia saat ini.
"Waktu pulang harus mampir di sini, jamaah perlu dikarantina selama 40 hari. Jadi siapa yang lolos, mereka tidak sakit, berarti sudah selesai. Maka dibolehkan pulang," kata Albina.
Seiring berjalannya waktu, saat Jepang datang, Belanda terpaksa angkat kaki dari Sabang. Gedung karantina haji berubah menjadi barak tentara dan karantina haji di Aceh akhirnya terhenti.
Baru pada 1944, Belanda kembali dan terjadi pertempuran dengan tentara Jepang sehingga beberapa bangunan pusat karantina haji hancur dihantam peluru Belanda.
"Jadi tidak semua bangunan itu hancur karena usia. Tapi dibom karena Belanda tahu Jepang bersembunyi dalam bangunan yang mereka dirikan," ujarnya.
Sejak saat itu Pulau Rubiah tidak lagi menjadi pusat karantina haji. Namun, Kota Sabang masih menjadi jalur pemberangkatan jamaah haji ke Tanah Suci hingga tahun 70-an melalui kampung haji.
(Hantoro)