"Belum mandi junub sudah keluyuran ke pasar!" teriak salah satu dari mereka.
Si pemuda sebenarnya merasa risih, tapi ia tetap cuek karena menggenggam pesan dari sebuah tausiyah KH. Maimoen Zubair yang pernah didengarnya, "Mengikuti kebiasaan kaum Muslimin itu penting. Contohnya sarung yang sejarahnya dari Birma atau Myanmar. Tapi sekarang jadi pakaiannya kiai dan santri. Ya, nggak usah nanya dalilnya. Masak mau pakai sarung nyari dalil dulu?" lanjut Mbah Moen.
Baca Juga: Bersedekah Bukan Membuat Harta Berkurang Justru Semakin Bertambah
Maka, tradisi sarungan sudah dianggap jati diri oleh si pemuda. Namun, saat di negeri orang kelakuannya menyalahi tradisi setempat.
Sampai kemudian dosennya yang seorang profesor menghampiri. "Kamu kalau kemana-mana pakai celana. Saya tahu kalau di Indonesia sarung adalah pakaian tholabul 'ilmi (belajar)-nya santri. Tapi kalau di sini itu pakaian jimak (berhubungan badan)," kata sang profesor.
(Vitrianda Hilba Siregar)